Rabu, 05 Maret 2014

kaset

Deretan kaset di Toko Kaca Mata Indah Kotamobagu
SAYA memandang takjub deretan kaset yang terpajang di rak setinggi dua meter itu. Ternyata tak hanya itu. Ratusan kaset tampak tersusun rapih di dua etalase. Mata saya menyapu sampul-sampul kaset di dalam etalase; Cindy Lauper, Stereophonics, Nirvana, Metallica, Pas Band dan banyak yang tak saya tahu.
 

Saya tak menyangka masih ada toko yang menjual kaset. Bagi sebagian orang, kaset mungkin sudah usang. Kaset yang semula dianggap sebagai karya ajaib teknologi audio pada awal kemunculanya tahun 1963, kini sudah dianggap barang antik. Lebih gampang bertukar lagu melalui perangkat digital , bukan?
 

Toko yang saya masuki Rabu siang itu adalah Toko Kaca Mata Indah. Jangan terjebak dengan namanya, toko itu tak menjual kacamata. Saat masuk  toko itu, pengunjung akan mendapati kaos-kaos tim sepakbola di sebelah kanan. Sementara di sisi kiri terdapat jam tangan dan jam dinding. Lebih ke dalam ada kaset-kaset dan compact disc.
 

Saya pun berbincang beberapa saat dengan Ko pemilik toko. Ko yang saya kini belum tahu namanya itu mengatakan masih ada saja yang mencari kaset. "Tiap hari ada saja. Mereka biasanya berasal dari desa-desa atau yang sering bekerja di kebun," kata pria berkacamata ini di balik meja kasirnya.
 

Dia berpikir juga untuk tak menjual kaset dan beralih ke barang lain. Namun, entah kapan. Ko masih merasa sayang dengan kaset-kaset tersebut. "Saya saat ini mencari perangkat audio pemutar kaset untuk di mobil. Soalnya, banyak koleksi lagu yang ingin saya dengarkan," tambah dia.
 

Ada beberapa lagu yang dia tidak temukan. Sementara untuk memindahkan ke digital, dia tak memahaminya. Dia juga menganggap repot memindahkan lagu di komputer atau di perangkat lainya ke flash disk untuk kemudian bisa diputar di kendaraanya. "Terlalu repot. Pindah sini, pindah sana," kata dia.
 

Bincang-bincang kami tak lama. Setelah membayar dua kaset yang saya beli, saya bergegas. Saya membayar Rp 20 ribu untuk kaset album Stereophonics : You Gotta There to Come Back dan Nirvana: Sliver The Best of The Son. Padahal, saya lihat harga kaset Nirvana tertera Rp 23 ribu.
***
 

Kejayaan kaset meredup di akhir tahun 90-an, tergantikan media-media lainya. Saya merasa beruntung masih bisa menikmati lagu dari kaset. Pada zamanya, maksudnya zaman saya remaja, kaset membuat hubungan sosial remaja menjadi unik. Kami berteman dan kami bertukar koleksi kaset yang kami miliki. Indah.
 

Kadang saling pinjam itu diselingi dengan canda. Suatu kali, saya disodori kaset bajakan. Teman saya bilang, isinya lagu-lagu Metallica dan lagu-lagu metal lainya. Hati berdegup dan ingin segera sampai rumah untuk mendengarkan isi kaset itu. Sialan, ternyata kaset itu isinya lagu-lagu dangdut.
 

"Sori, salah ngasih. Itu kaset sempet jatuh ke air, tak usah heran kalau isinya, 'basah, basah, basah....'," kata teman saya cengengesan keesokan harinya. Tak lucu memang, tapi tetap layak dikenang.
 

Lain waktu, awal 2.000, saya susuri Balubur untuk cari double album White-nya The Beatles. Kata teman, ada toko kaset yang menjual kaset lama setelah pencarian di Jalan Dewi Sartika dan Cikapundung tak berhasil. Lain waktu lagi, cari kaset bekas-bekas band-band alternatif. Kaset bagi saya barang mewah yang menyenangkan.
 

Pada waktu hampir bersamaan, saya mulai berharap kepada teman untuk mengunduhkan lagu-lagu. Perlahan, hampir tak pernah saya sadari, saya tak pernah lagi mendengarkan lagu-lagu dari kaset. Saat ini, ada kaset Stereophonics dan Nirvana, tapi saya bingung mau putar dimana.

.::: dengerin lagu Stereophonics di Youtube di Warkop Sinindian, Rabu, 5.2.2014 :::.

Tidak ada komentar: