Sabtu, 30 Mei 2015

Sang Raja dan Hukumnya

Pele mengiklankan restaurant cepat saji. (Foto: Sportsbusinessdaily)
EDISON Arantes do Nascimento. Terlalu rumit untuk mengingat nama itu? Ok, sebut saja Pele. Dia lah O Rei atau sang Raja. Legenda sepakbola asal Brasil yang membuat negaranya merengkuh Piala Jules Rimet setelah tiga kali menjuarai Piala Dunia.

Setelah pensiun dari sepakbola, Pele wara-wiri dalam ragam iklan. Tahun 1995, Fernando Henrique Cardoso, Presiden Brasil 1995-2003, mengangkat sang Raja menjadi Menteri Luar Biasa Olahraga. Ia mundur sebagai menteri tiga tahun kemudian setelah menggolkan undang- undang olah raga yang kemudian dikenal Pele Law.

UU Pele ini merupakan terobosan hukum yang mengubah wajah kelam olahraga, terutama sepakbola Brasil, dari yang penuh korupsi menuju sepakbola menuju industri yang menjanjikan. UU ini melawan cartolas atau beropi tinggi, yakni pemilik klub.

Franklin Foer, dalam bukunya How Soccer Explains the World: The Unlikely Theory of Globalization yang kemudian diterbitkan di Indonesia oleh Marjin Kiri tahun 2006, menggambarkan UU Pele ini serangkaian reformasi ala IMF untuk sepak bola.

UU Pele mengatur klub sepakbola beroperasi seperti badan usaha kapitalis yang transparan dengan pembukuan yang terbuka dan manajer yang bisa dimintai pertanggungjawabkan. Para pemain pun mempunyai hak. Hak siar televisi pun menguntungkan semua pihal, termasuk pemain.

Tak ada yang meragukan prestasi sepakbola Brasil. Tuhan memberikan anugerah talenta yang luar biasa kepada para pemain sepakbola negara itu. Namun Pele yang terakhir bermain di klub New York Cosmos, melihat bagaimana karut marut pengelolaan sepakbola.

Perlu tiga tahun setelah digolkan di kongres, UU Pele ini bisa diterapkan. Dari Wikipedia, Campeonato Brasileiro Série A, liga sepakbola utama Brasil, mengalami pertumbuhan mulai tahun 2001.

Namun bukan berarti liga Serie A Brasil ini tanpa cacat. Musim kompetisi tahun 2005, sebelas pertandingan dibatalkan karena skandal pengaturan pertandingan dan harus diulang.

Upaya Pele untuk membuat undang-undang keolahragaan juga ternyata ternoda. Franklin Foer menceritakan, bagaimana reaksi penggiat antikorupsi juga mulai menguak masa dinas Pele sebagai Menteri Luar Biasa Olahraga. Pele yang jelas bukan orang yang idealis.

Foer menulis, batang tubuh dalam UU Pele tersebut disusun oleh mitra bisnis Pele. Mereka pun tanpa sungkan mengakui bahwa mereka mengharapkan keuntungan dari UU tersebut.

Foer kemudian mengutip sebuah studi tentang korupsi dari Edward Banfield. Dalam The Moral Basis of a Backward Society, Banfield menguraikan, KKN terburuk lahir dari masyarakat yang paling terikat rasa kekeluargaan dan beban kewajiban antar anggotanya terasa kuat. Pele dan Brasil mewakilinya. Tak ada gading yang tak retak

Terlepas dari itu semua, dari Wikipedia, tahun 2012, Serie A Brasil membukukan pendapatan 1.17 miliar dolar. Pendapatan ini yang paling tinggi di antara liga-liga sepakbola di daratan Amerika. The Brasileirao, demikian liga ini lebih dikenal, memiliki brand yang kuat dan memiliki nilai 1.24 miliar dolar pada tahun 2013. Dari hak siar, liga ini mendapat 610 juta dolar.

Lalu Sepakbola Indonesia?

Hari Kelam di Zurich

SEPP BLATTER/GETTY IMAGE
SEPP Blatter akhirnya terpilih kembali sebagai Presiden FIFA untuk kelima kali secara beruntun pada pemilihan yang berlangsung di Zurich, Swiss, Jumat, 29 Mei 2015. Luis Figo, kandidat Presiden FIFA yang mengundurkan diri sepekan sebelum pemilihan berlangsung, tak bisa menyembunyikan kekecewaanya.

"Hari ini merupakan hari kelam di Zurich," kata Figo yang juga mantan pemain nasional Portugal, mengomentari hasil pemilihan tersebut.

Pemilihan Presiden FIFA kali ini dibayangi dengan skandal yang mengguncang organisasi tertinggi sepakbola dunia itu. Tujuh petinggi FIFA ditangkap FBI dua hari sebelumnya karena diduga terlibat dalam korupsi dan pencucian uang pada 1991. Tak sedikit yang menganggap inilah waktu bagi Blatter untuk mengakhiri jabatannya.

Kenyataan bisa terasa pahit, tapi juga sebaliknya; manis. Penangkapan terhadap petinggi FIFA tidak bisa menghentikan Blatter. Nate Scott dalam USA Today menulis, Blatter telah menghadapi tuduhan sebelumnya. Dia tahu cara untuk terus bergerak. Dia tidak pernah menunda pemilihan karena ia tahu akan menang. Dan, itulah yang dia lakukan.

Scott mengemukakan alasan, mengapa Blatter bisa dengan mudah memenangi pemilihan presiden FIFA. Blatter meraup 133 suara dari 209 orang. Pangeran Ali bin Al-Hussein dari Yordania bisa saja memaksakan putaran kedua, namun kemudian sang Pangerab mengundurkan diri. 

Blatter memiliki kontrol yang kuat terhadap banyak negara di FIFA. Ini alasan pertama.

Pemilihan presiden FIFA punya tidak seperti pemilihan umum biasanya. Scott mencontohkan, pemilihan di negaranya, Amerika Serikat, di mana negara-negara bagian yang jumlah penduduknya lebih banyak, bisa mendapat wakil lebih banyak di kongres. Saya andaikan dengan istilah proporsional antara wakil dengan populasi.

Asosiasi sepakbola suatu negara memiliki satu suara, tak menghitung dengan jumlah pemain sepakbola atau klub-nya. Jerman dengan jumlah pemain lebih dari enam juta, hanya memiliki satu suara seperti Mikronesia yang hanya memiliki jumlah penduduk tak lebih dari 100 ribu orang.

Itulah sebabnya, Blatter tak peduli kehilangan suara dari Amerika Serikat atau negara-negara Eropa yang lebih memilih Pangeran Ali. Suara negara-negara kecil sama nilainya  dengan negara- negara tersebut.

Alasan kedua, Blatter menguasai negara-negara dengan penyaluran dana FIFA.

Bukan hanya suara yang sama, 209 negara anggota FIFA juga mendapatkan dana yang sama. Tidak peduli berapa banyak pemain sepakbola di sebuah bangsa, mereka akan mendapatkan jumlah uang yang sama dari FIFA.

Scott kembali mencontohkan Jerman. Katakanlah, FIFA menyalurkan dana tiga juta dollar, maka setiap pemain di Jerman,--jika jumlahnya enam juta pemain--, maka akan mendapatkan 50 sen. Bandingkan dengan Guenea yang jumlah penduduknya 700 ribu. Belum menghitung jumlah pemainya. Duit yang asosiasi sepakbola Genea mendapatkan tiga juta dolar.

Scott pun menyimpulkan, hingga nama Blatter belum ada dalam dakwaan, maka FIFA tetap akan berada dalam kekuasannya. Blatter tahu akan menang.