Sabtu, 06 Juli 2013

"So bilang kwa...."

ENTAH tebakan atau berdasarkan analisis ala pengamat politik (yang biasanya sok jago), namun yang pasti, keraguan seorang pengemudi becak motor (bentor) saat berbicang dengan saya pada 13 Februari lalu itu terbukti. "Saya tak yakin wali kota sekarang dapat terpilih kembali," kata pria ompong ini.

Saat itu masa kampanye belum tiba. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kotamobagu baru menetapkan tahapan pemilihan umum wali kota dan wakil wali kota (Pilwako) kota berpenduduk sekitar 127 ribu itu 1.5 bulan sebelumnya. Namun, kota kecil itu sudah sangat riuh. Para bakal calon sudah menebar stiker atau memasang baliho.


Empat bulan kemudian, 24 Juni 2013, sang Petahana pada Pilwako itu tumbang. Raihan suaranya terpaut 9.909 dengan pesaing utamanya, yang tak lain wakilnya selama jadi wali kota periode 2008-2013. Jika dipersentasekan, jarak antara Petahana dan Pemenang hampir mencapai 12 persen dari total 71.350 suara sah.  


Suasana kekalahan tersebut sangat terasa di kediaman sang Petahan hanya sekitar dua jam setelah panitia di tempat pemungutan mulai menghitung. Wajah kepala dinas dan pejabat pemerintah daerah tampak tak berseri. Mereka yang biasanya ngobrol dengan muka penuh senyum, terlihat banyak diam. Bahkan di antaranya duduk lunglai.

Sementara di dalam ruangan utama rumah itu, tampak beberapa pengurus partai politik yang mengusung Calon Wali Kota. Di antara kerumunan para pengurus partai tersebut, tampak pula seorang ustaz. Ustaz yang biasanya tampak bersemangat saat berceramah, terlihat tertunduk lesu. Buliran air mata juga sempat terlihat.


Ruangan itu tampak ramai, tapi terkesan suram. Sang Petahana akhirnya menunjukkan diri. Dia berjalan cepat dari lantai dua menuju sebuah ruangan yang berada di lantai bawah. Tanpa memperdulikan orang-orang yang berkerumun di ruang itu. Lelaki yang berkumis ini hanya mengajak beberapa pejabat masuk bilik.


Suasana sangat kontras berbeda di kediaman sang Pemenang. Ribuan orang berdesak-desakan mendekati rumah perempuan ini. Bahkan, beberapa pria dan wanita menari di jalan. Mereka berteriak kegirangan. Jalanan di seputaran kediaman yang menjadi rumah dinas wali kota itu macet. 


Semua orang berebut untuk mengucapkan selamat. Pelukan dan ciuman pipi pun dia terima. Air mata perempuan berkacamata ini berurai. Di tengah keriangan, sang Gubernur datang bersama rombongan. Tak lama setelah terlibat perbincangan, Gubernur itu pun akhirnya meninggalkan ruamh dinas itu.


Sehari setelah pemungutan suara, saya berbincang dengan sang Petahana di rumah dinasnya. Suara pria ini parau. Dia tampak berusaha tenang dan menekan emosinya saat berbicara tentang hasil pemungutan suara.  "Saya kira sebuah realitas kalau hasil perhitunah begitu. Bukan soal terima atau tidak," kata pria berkumis ini.  


Beberapa hari kemudian tak ada tanda-tanda perlawanan dari sang Petahana. Padahal, pria ini terkenal gigih dan tak jarang menggunakan segala dayanya untuk melawan, termasuk saat kekalahannya pada beberapa tahun sebelumnya saat mencalonkan diri menjadi bupati di Bolmong. 


"Saya sudah pernah merasakan kalah. Dua kali," kata dia.


Riak itu memang ada, tapi kecil. 28 Juni 2013, aliran listrik di Kotamonagu terputus. Pleno penetapan hasil pemilihan pun tertunda. Saat bersamaan, sejumlah orang mulai berkumpul di kediaman sang Petahana. Seratusan orang yang didominasi perempuan berencana berunjukrasa di Kantor KPU daerah itu. Namun, akhirnya urung. 


KPU Kotamobagu pun akhirnya menetapkan wali kota dan wakil wali kota terpilih. Pertarungan memang belum berakhir. Dua kontestan memohon gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, sekali lagi, perkataan sopir bentor itu terbukti. Entah itu tebakan atau berdasarkan analisis. "Di awal-awal saja sudah mengecewakan.  Dia berniat menghapus bentor," kata sopir bentor itu.


.:: warkop jarod sinindian, 6 Juli 2013 ::.