Kamis, 22 November 2012

adu domba


"Ini bukan pertandingan sampai mati. Kalau tidak sayang, silakan lanjutkan. Bahkan jika domba bisa bicara, dia mungkin tidak mau dipaksa."

Adu Domba di Lapangan Palalangon, Desa Cangkuang. Ahad, 18 Nov 2012.


AHAD itu, kata orang Sunda, wanci masih carangcang tihang. Matahari masih sepenggalan, tapi suara 'kendang penca tepak dua dan tiga' berkumandang bergantian di bagian sisi timur Lapang Palalangon, Desa Cangkuang. Teretet terompet penca yang rancak menjadi melodi. Keriangan musik berpelantam itu tidak hanya menarik warga di sekitar Palalangon, namun dari berbagai kampung.

Tak perlu promosi melalui media massa. Cukup dari mulut ke mulut, ratusan orang,-tua, muda sampai bocah-, berdatangan untuk menyaksikan adu domba yang akan berlangsung dari pagi hingga siang di lapangan yang berada di sebuah bukit di perbatasan Kecamatan Leles dan Leuwigoong itu. Di bukit ini pula, kita bisa melihat hamparan sawah dan sebagian Situ Cangkuang.

Pagi semakin hangat. Petarung-petarung mulai berdatangan ke palagan dituntun tuanya. Dandanan domba-domba itu tak kalah gandang dan kewes dari sang penuntun yang kebanyakan memakai celana dan baju pangsi berwarna hitam. Perawakan domba-domba adu biasanya tinggi dengan otot-otot tampak liat. Selain tampak sehat, mereka juga biasanya memiliki tanduk yang cantik. Melengkung di kedua sisi kepalanya bak mahkota.

Penampilan memang menjadi unsur yang tak kalah diperhatikan. Bahkan, pemandu pertandingan sempat mengkritik cukuran seekor domba adu kepada pengurus domba. Kakasepan atau kegantengan domba juga ditambah dengan hiasan yang tergantung di lehernya. Hiasan yang biasanya terbuat dari kulit domba dipercantik degan manik-manik. Tentu saja, saat bertanding hiasan tersebut ditanggalkan.

Sebelum bertanding, domba-domba adu tersebut ditambatkan di sisi lapangan pertandingan. Area penambatan tersebut seolah-olah menjadi ajang adu gandang domba-domba tersebut sebelum tiba pada pertandingan sesungguhnya. Bukan tidak mungkin, penggila domba kesengsem dengan domba-domba gagah yang pagi itu tidak hanya berasal dari seputaran Leles saja tapi juga daerah Garut.

Domba adu memang berbeda dengan domba sayur. Di kampung saya, tetangga sebelah rumah saya sempat memelihara domba adu. Entah karena cinta terhadap peliharaanya atau keuntungan secara ekonomi yang akan didapat, dia sangat geten sekali dengan peliharaanya. Domba tidak bisa makan sembarangan. Buah-buahan dan ampas kelapa rutin dia berikan kepada dombanya.

Pemeliharaan yang telaten bisa berbuah manis. Bila domba sudah kajojo dan teruji pada kontes atau adu domba harganya bisa melambung sampai puluhan hingga menembus ratusan juta. Dampaknya juga pada keturunannya. Domba yang baru lahir saja, harganya bisa tinggi bila berasal dari turunan yang ternama. Domba adu lahir tersebut bisa jauh bedanya dengan domba sayur.

Kembali ke Lapangan Palalangon. Tiba saatnya, sang Pemandu Pertandingan mempersilakan bagi pemilik untuk mendaftarkan aduanya. Bring, sejumlah orang menuju tempat pendaftaran. Panitia pun mulai menyiapkan lapangan pertandingan. Penonton mulai menyiapkan diri di tiga sisi lapangan untuk melihat adu kuat domba. Sebagian besar duduk di bangku yang terbuat dari bambu. Beberapa di antaranya nekat berada di dalam kalangan.

Pertandingan pertama pun dimulai. Seorang wasit dan asistennya memimpin pertandingan. Uniknya, pemegang peluit adalah sang asisten. Dan, memang dalam pertandingan, peluit tersebut jarang digunakan. Wasit dan asisten masih dibantu dua orang lainya. Mereka bertugas untuk mengawasi keadaan domba yang diadu.

Setelah pemanasan dirasakan cukup. Dak, dak, dak..., suara kepala dan tanduk domba beradu pun terdengar. Alunan kendang penca tak lagi tepak dua atau tiga, padundung yang berirama lebih cepat dan bergelora. Namun bisa saja para nayagan menyuguhkan lagu-lagu berbahasa sunda. Atau bisa saja, pemandu pertandingan untuk menghentikan alunan musik. Bukan apa-apa, ada beberapa domba yang baru diadu justru demam panggung dengan suara kendang penca.

Pada pertandingan pertama, pemilik domba bernama Campala minta wasit menghentikan pertandingan pada pukulan atau tandukan ke 16. Dia melihat aduanya tidak akan mampu meneruskan sampai di pukulan ke 20 atau pukulan terakhir. Pun pada beberapa pertandingan selanjutnya. Tak sedikit pertandingan yang terhenti sebelum pukulan ke 20. Entah pemiliknya atau wasitnya yang menghentikan pertandingan.

"Ini bukan pertandingan sampai mati. Kalau tidak sayang (dombanya), silakan lanjutkan. Tapi, risikonya tanggung sendiri. Bahkan jika domba bisa bicara, dia mungkin tidak mau dipaksa," ujar pria berkulit sawo matang yang menjadi pemandu pertandingan kepada para peserta.

Ya, adu domba merupakan seni bagi bagi para pecintanya. Pertandingan dilakukakn se-sportif mungkin. Sehebat apa pun pertandingan, domba aduan jangan sampai terluka parah. Perangkat pertandingan akan melihat kondisi domba di tengah pertandingan. Jika kondisi tidak memungkinkan, mereka akan menyarankan menghentikan adu kekuatan tersebut. Pun jumlah beradunya kepala atau tanduk ditentukan terlebih dahulu. Pada pertandingan Ahad itu hanya sampai 21 pukulan.

Sampai di titik itu saya tiba-tiba teringat idiom 'adu domba' yang selalu dihubungkan dengan strategi politik Belanda sewaktu menjajah Indonesia, yakni divide et impera. Saya berpikir, kok bisa, ya, adu domba yang sportif dan menghindari kecurangan harus dihubungkan dengan gabungan strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan.

Tapi, sudahlah. Idiom 'adu domba' toh sudah diterima oleh umum dengan tone yang sangat negatif. Mending menikmati pertandingan selanjutnya antara domba bernama Ceko melawan Ninja. Kemudian disusul partai-partai seru lainya. Namun sebelum semua partai usai, saya sudah pulang ke rumah. Sayup-sayup terdengar kendang penca dengan trompetnya,-tentu saja-, memainkan lagu berjudul Mobil Butut yang dipopulerkan Bungsu Bandung.

.:: golar-goler di imah nu ampir kosong. Ciperang, Ahad, 18 November 2012 ::.