Rabu, 05 Agustus 2009

Siang yang Basah di Wiau Lapi, Orang Asing Terkapar di Tumpukan Koran Bekas

EMPAT pria berkumpul. Mereka berkeluh kesah soal pekerjaan, namun mereka tak sungguh-sungguh bicara soal pekerjaan. Mereka hanya ingin mabuk.

Satu gelas dipakai bersama. Dua kaleng minuman bersoda. Satu botol 600 ml yang berisi cap tikus. Mouse brand, demikian empat pria berumur 20-an itu kadang menyebutnya. 

Cap Tikus Initiative (CTI) Summit plesetan dari Coral Triangle Initiatve pun digelar di atas kasur sengketa dan tumpukan koran bekas.
***

Siang yang basah di Wiau Lapi, desa kecil di Kacamatan Tareran, Minahasa Selatan. Alvin Worotitjan masih terkantuk-kantuk saat turun dari rumahnya. 

Namun, pria kurus itu tampak antusias ketika saya minta ditunjukkan bagaimana membuat cap tikus; minuman khas Minahasa.

“Mari saya tunjukkan di mana tempatnya dan bagaimana cara membuatnya,” ujar pria berusia 44 tahun itu sambil menggamit tangan anaknya yang kira-kira berusia enam tahun.

Tanpa baju, hanya mengenakan celana tiga perempat, dia langsung menclok di jok belakang motor Supra Fit pinjaman kantor saya. Anaknya berada di antara saya dan dia.

Setelah mengucapkan terimakasih kepada pria yang mempertemukan saya dengan Alvin, kami pun langsung berangkat menuju tempat pembuatan cap tikus. 

“Wah, saya baru minum (cap tikus) setengah gelas barusan. Belum habis,” ujar Alvin saat motor mulai berjalan.

Dia mengaku, cap tikus seringkali menjadi minuman pembuka hari-harinya. “Setiap bangun tidur, kali pertama yang saya minum bukan air putih tapi seringkali cap tikus,” katanya enteng.

Kurang dari lima menit dari rumahnya Alvin, kami sudah sampai di tempat dituju. 
Tempat pembuatan cap tikus itu dekat dengan perkampungan. Hanya beberapa puluh meter saja dari rumah penduduk.

Saya parkirkan motor di rumah terluar. Alvin setengah memaksa menyuruh saya menggunakan motor sampai ke pondok kecil pembuatan cap tikus, namun saya menolak. 

“Jalannya kecil dan licin. Saya ga berani,” kata saya.

Saya mulai berjalan menuju kebun yang ditumbuhi pohon enau atau di Minahasa lebih dikenal dengan nama pohon seho. Alvin dan anaknya sudah berjalan terlebih dahulu.

Di atas kepala saya, tampak buluh-buluh dari bambu disusun mulai menanjak kemudian menurun dalam bentuk seperti persegi panjang. 

Bila digabungkan panjang bambu tersebut semuanya lebih dari 50 meter. Kemudian saya tahu, pipa-pipa bambu itu untuk menyuling saguer atau air nira yang diambil dari pohon seho.

Di bangunan berukuran 2x3 tempat pembuatan cap tikus itu, sudah ada dua orang pria. 

Pria yang kurus tinggi, wajahnya tirus dan rambut panjang sebahu acak-acakan, namanya Joly Langi. Dia memakai ponco kuning tanpa baju di dalamnya.

Satu lagi pria di tempat tersebut tidak mau menyebutkan namanya. Alvin memperkenalkan pria itu. Pria itu sedikit gemuk dengan tinggi sekitar 160 cm.

Dibandingkan dengan Joly, Alvin, dan saya, pria ini penampilannya lebih rapih. Kaus berkerah dan celana katun yang ujungnya dimasukan ke sepatu bootnya, memberi kesan rapih itu. 

Saat berbicara pria itu selalu menggerakkan tangannya dan itu yang membuat saya sedikit ketir; dia memegang golok, hingga jika berbicara goloknya ikut bergerak.

Joly memasukkan kayu bakar ke tungku yang terbuat dari tanah. Dia mengatur kayu-kayu bakar tersebut agar api dalam tungku tidak mati. 

Di atas tungku terdapat drum yang warnanya sudah hitam pekat. Tepat di tengah-tengah drum yang tertutup rapat tersebut terdapat cerobong bambu.

"Cerobong tersebut merupakan tempat mengalirnya uap dari saguer yang dipanaskan," ujar Joly.

Menggodok saguer untuk mendapatkan uapnya merupakan satu tahapan dalam membuat minuman cap tikus. 

"Pembuatan cap tikus dari pertamakali menyadap saguer sampai jadi cap tikus mebutuhkan waktu berhari-hari, tapi itu bisa dilakukan sambil melakukan pekerjaan lain," ujarnya.

Dia mencontohkan untuk menyadap bisa dilakukan kapan pun tidak memerlukan waktu khusus. Tidak sama dengan membuat gula aren yang harus pagi atau sore hari ketika menyadapnya.

Selesai disadap, saguer di kumpulkan dalam galon, demikian Alvin dan rekannya menyebut jeriken. 

Jeriken tersebut disimpan di atas tanah. Saguer tersebut mengalir ke jeriken melalui bantuan plastik yang dipasang dari batang seho yang disadap.

"Plastik itu praktis. Jika galonnya di simpan di atas seho, nanti berat menurunkannya," jelas Alvin.

Menentukan batang seho yang bisa disadap tidak sembarangan. Batang tersebut biasanya dipukul-pukul dulu. 

"Sebagai petani kita dapat merasakan mana yang sudah bisa disadap, mana yang belum," kata Joly.

Ketika saguer sudah terkumpul, kemudian didiamkan sedikitnya dalam satu hari atau dua hari dalam galon yang tertutup sehingga kadar asamnya cukup baik untuk pembuatan cap tikus. Baru kemudian dipanaskan dalam drum.

Saguer sebenarnya masih bisa bertahan sampai seminggu, tapi menurut Joly, kadar keasaman atau cukannya akan turun sehingga kadar alkoholnya pun turun. 

"Dalam seminggu itu harus saguer harus disimpan dalam galon yang tertutup rapat, agar cukanya tidak keluar," jelas Joly.

Setelah dipanaskan, uap dari saguer tersebut mengalir ke cerobong bambu kemudian dialirkan dalam pipa-pipa yang terbuat dari bambu.

Bambu-bambu tersebut dipasang di atas tanah. Bambu pertama dipasang mengarah menanjak. Bambu kedua, ketiga, keempat dan kelima dipasang menurun. 

Ujung bambu kelima mengarah kembali ke tempat tungku, dan disanalah keluar uap saguer. Dan, itulah yang disebut cap tikus. 

"Sebenarnya memasuki bambu kedua uap tersebut telah menjadi cair kembali," ujar Alvin.

Untuk mendapatan cap tikus, pemanasan Saguer bisa berlangsung dari 1,5 jam sampai 2,1 jam. 

"Jika tungkunya baru dipakai, biasanya lebih lama. Tapi untuk, pemanasan kedua, ketiga dan seterusnya bisa lebih pendek lagi," jelas Alvin.

Dalam sehari, tungku tersebut bisa dipakai sampai tujuh kali pemanasan saguer. Tungku tersebut dipakai oleh beberapa pembuat cap tikus. 

“Tempat ini bisa dipakai siapa saja. Jadi, siapa yang duluan, boleh menggunakannya terlebih dulu,” jelas Alvin.

Satu jeriken saguer atau kira-kira 25 liter, bisa menghasilkan 20 botol cap tikus. Satu botol cap tikus tersebut dijual ke penampung sekitar Rp 2 ribu. 

Kadar alkohol juga mempengaruhi harga cap tikus. Kadar alkohol terendah cap tikus adalah 30 persen. Dari penampung, cap tikus tersebut dijual kembali ke pabrik-pabrik minuman.

Jumlah produksi cap tikus tergantung pada banyak tidaknya saguer. Hal tersebut menurut Alvin tidak bisa diprediksi. 

"Baik musim hujan atau musim kemarau, produksinya bisa sedikit tapi bisa juga banyak. Tapi, yang jelas kalau pohon sehonya masih muda biasanya lebih banyak menghasilkan saguer," dia menambahkan.

Penyulingan sudah tampak hasilnya. Cairan bening sudah keluar ujung bambu. 
Alvin menawarkan kepada saya untuk meminum cairan putih yang sudah dinamakan cap tikus itu. Namun, saya menolak. 

“Tidak apa-apa, ini masih bagus. Enak dan masih manis,” ujarnya setengah merayu. Saya tetap menolak.

Setelah saya rasa semua proses pembuatan cap tikus sudah saya ikuti, saya pun pamitan. Alvin, masih meminta saya untuk minum. 

“Wah, kalau saya minum, bisa-bisa saya jatuh di jalan,” kata saya.

Dia pun akhirnya hanya menawarkan saya untuk membawa cap tikus. 

“Dia disuruh minum saja tidak mau. Apalagi suruh bawa pasti lari dia.” Kurang lebih itu yang saya pahami dari perkataan pria yang tak mau menuebutkan nama kepada Alvin. Dia berkata dalam bahasa Manado yang cepat.
***

Alvin dan Joly adalah dua dari sekian banyak cap tikus di Wiau Lapi. Di Kecamatan Tareran menurut Alvin, Wiau Lapi merupakan penghasil terbanyak cap tikus. 

Di Sulawesi Utara, Kabupaten Minahasa Selatan merupakan penghasil cap tikus yang cukup besar. 

Setidaknya, data yang diperoleh dari situs resmi kabupaten ini, sembilan juta liter dihasilkan kabupaten yang baru berdiri tahun 2003 ini.

“Minuman ini merupakan minuman khas Minahasa. Bahkan, beberapa daerah di Minahasa minuman yang mempunyai kadar alkohol tinggi ini disajikan dalam pesta pernikahan,” kata Alvin.

Alvin mengaku sudah belajar membuat cap tikus sejak kecil. “Ya, seumuran anak saya itu, saya sudah dibawa orangtua saya ke kebun,” ujarnya sambil menunjuk anaknya yang sedang asik menghitung jeriken-jeriken yang entah berisi saguer atau cap tikus.

Cap tikus merupakan sumber penghidupan bagi sebagian orang. Saya pernah bertemu James Tengor, warga Suluun Tareran, di halaman gedung DPRD Minsel. 

Saat itu dia menghadiri rapat dengar antara anggota DPRD Minsel dan petani cap tikus mengenai pembahasan rancangan peraturan daerah mengenai cap tikus. 

James mengaku dirinya bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi hasil cap tikus.

“Banyak yang mengais rezeki dari cap tikus. Tidak sedikit yang memanfaatkan pohon seho untuk menggantungkan hidupnya,” ujar pria yang pada pemilihan legislatif lalu mencalonkan diri jadi anggota dewan, namun gagal mendapatkan kursi yang diidamkannya.

Selain petani cap tikus, ada juga penampung. Penampung ini biasanya jauh lebih sejahtera dibandingkan dengan petani cap tikus. 

Seorang Hukum Tua atau kepala desa  yang juga seorang penampung mempunyai beberapa mobil. Rumahnya pun mentereng.

Dari penampung, cap tikus kemudian dijuak ke pabrik-pabrik pembuatan minuman di Manado.

Walaupun cap tikus minuman khas di Minahasa, namun kadar alkoholnya yang tinggi mengakibatkan peredaran sebagai minuman diperketat. 

Peraturan daerah pun dibuat. Pemerintah Minsel sepertinya harus berfikir keras untuk membuat kebijakan yang menguntungkan bagi semua pihak. 

Pembuatan pabrik gula dan bioetanol di Kapitu, Amurang Barat sepertinya menjadi solusi. Namun, bukan hal mudah mengalihkan kebiasaan.

Perlakuan saguer untuk gula dan cap tikus sangat berbeda. Belum lagi alat dan waktu pengambilan saguer. 

Bila biasanya bisa mengambil saguer kapan saja, untuk saguer gula hanya bisa dilakukan pagi dan sore saja. Kurang dua jam harus diolah, bila tidak, kadar keasaman saguernya menjadi lebih tinggi.

Tingginya modal yang harus ditanamkan di pabrik tersebut membutuhkan investor yang betul-betul kuat. 

Bila pabrik yang rencananya memproduksi gula untuk ekspor tersebut membutuhkan 500 liter saguer per harinya, maka, kasarnya, dibutuhkan Rp 5 juta per hari untuk membeli saguer. Itu hanya untuk membeli saguer saja.

Diakui oleh Decky Keintjem, dari Dinas Perkebunan Minsel, biaya produksi untuk pembuatan gula dan etanol masih tinggi. Harga saguer yang dibeli lebih tinggi dari pasaran. 

Alasan hal itu dilakukan, menurut Decky, adalah untuk mendorong agar masyarakat mau menjual saguernya untuk pembuatan gula atau bioetanol.

“Sebenarnya harga pasaran saguer antara Rp 700 – Rp 800, namun kami beli dengan harga Rp 1 ribu. Ini hanya dorongan saja sebenarnya,” ujarnya.

Akibatnya, bila untuk mendapatkan satu kilo gula membutuhkan 15 liter, maka biayanya Rp 15 ribu. Tinggi sekali. 

Kini, menurut Decky, pihak operator gula berusaha untuk menekan hingga produksi di bawah level Rp 10 ribu untuk menghasilkan satu kilogram gula.

Belum lagi keterampilan teknis lainnya untuk pengoperasian mesin-mesin di pabrik tersebut. 

Pabrik yang diserahkan kepada 40 gabungan kelompok tani itu, tampak sepi.  Tidak ada kegiatan di pertengahan Mei saat matahari menyengat di luar pabrik itu.

Ketidakjelasan operasional pabrik sebelumnya pernah dipertanyakan oleh James. 

"Yang kami dengar kesepakatan dengan investor belum jelas. Katanya harga bioetanol dan gula mahal. Tapi kami tidak ingin hal tersebut menjadi surga telinga saja," ucapnya.
***

Anak Alvin masih bermain di antara jeriken-jeriken yang entah berisi saguer atau cap tikus. 
Sambil menikmati minuman bening khas Minahasa itu, Alvin membakar cap tikus yang baru disuling. Apinya biru.
***

Empat orang terkapar.
***

-= Catatan 
1. Catatan ini hasil reportase antara April-Juni 2009
2. Beberapa bagian saya sunting lagi 26 November 2019.