Kamis, 02 Desember 2010

tuhan dan pasangan manusia

Saya tersentak setelah membaca pesan singkat yang dikirim seorang teman sekitar satu jam menjelang tengah malam. Menurut saya, isinya mempertanyakan eksistensi Tuhan.

"Sabenerna Tuhan menciptakan manusia atau manusia menciptakan Tuhan?" Begitu isi pesan singkat tersebut tanpa ditambah atau dikurangi.

Saya gelagapan karena tidak siap menjawab pertanyaan seperti itu. Saya orang yang malas untuk mempertanyakan Tuhan. Saya cukup puas mengimani keberadaan Tuhan tanpa susah payah berpikir.

Untuk mengulur waktu saya balas pesan singkat tersebut setengah serius, tapi setengahnya lagi bukan becanda. "Baca we novel misteri soliter karya jostein gaarder, Al Quran, Bibel," jawab saya.

Namun tampaknya teman saya tidak puas dengan jawaban seperti itu. Akhirnya saya suruh dia telepon ke saya. Maka berbincanglah kami selama beberapa menit. Dan, waktu tidak akan pernah cukup untuk membicarakan Tuhan.

Saya mengemukakan pikiran Jostein Gaarder yang ada di novel Misteri Soliter. Saya juga sentil 'dunia gagasan-nya' Plato yang tidak sepenuhnya saya pahami tapi saya sukai.

"Tidak. Tuhan telah mati Hans Thomas. Dan, kitalah yang membunuhnya." Kalimat tersebut dikatakan oleh seorang ayah kepada anaknya yang bernama Hans Thomas dalam Novel Misteri Soliter.

Menurut sang Ayah yang sedang melakukan perjalanan dengan si anak mencari Bunda dari Hans Thomas, Tuhan ada dalam pikiran manusia. Bagaimana jika manusia tidak memikirkan keberadaan Tuhan?

Bagi saya, Tuhan itu selalu ada dalam dunia gagasan manusia. Sekuat apa pun menolak keberadaannya. Saya akan berfikir tentang kesemestaan, baik yang sangat kecil maupun yang maha luas.

Dan seperti pada bagian lainnya, Ayah dan Hans Thomas berbincang tentang betapa alam semesta itu sangat luar biasa hebatnya. Dan, saya mengatakan kepada teman saya jika dia seperti kelinci yang mencari tahu siapa pesulap yang telah menghadirkannya ke atas panggung.

Perbincangan kami meluas menjadi pertanyaan-pertanyaan lebih mengarah teologis. Dan, saya berterus terang kepada dia, jika saya tidak mempunyai ilmu untuk membicarakan hal tersebut.

Sayang perbincangan kami tidak berlanjut lantaran media yang kami pergunakan berkomunikasi mengalami gangguan. Saya berjanji untuk menelepon balik dia, dengan harapan suara di ponsel kami bisa lebih jernih.

Namun belum juga saya telepon, dia mengirimkan pesan singkat kalau perbincangan bisa kami lanjutkan esok hari. Saya juga meminta maaf kepada dia lantaran belum bisa mengkap poin yang ingin dia sampaikan.

Dia membalas, "Mun aya bule nanya..so what's d point? Jwban urg naha neng ***** (nama orang) kudu ####### (nama agama), urg kudu ##### (nama agama)... damn.. hahaha."

Itu rupanya...! Ah, saya jadi teringat teman saya yang lain...

.:: kolongan, antara 1-2.12.2010 ::