Jumat, 26 November 2010

sarung ponsel saya merah muda

"Wah, merah muda!" seru seorang teman dengan nada keheranan. Reaksi yang hampir sama dengan beberapa teman saya lainnya ketika melihat sarung pengaman ponsel saya. Bahkan, ada yang 'keukeuh' menyuruh saya untuk mengganti sarung tersebut. Tentu saja, saya tidak akan mengikuti saran teman tersebut.

Sarung tersebut masih bagus dan berfungsi dengan baik. Jadi, buat apa harus menggantinya. Jika alasannya estetika, maka setiap orang mempunyai selera masing-masing. Dan, kamu bisa menilai elegan, norak atau kampungan terhadap selera orang lain.

"Tapi warna itu untuk cewek," kata teman menyakinkan saya untuk mengganti sarung tersebut. Aneh mungkin baginya, melihat lelaki yang sudah meninggalkan usia remaja memakai barang berwarna cerah yang identik untuk cewek. Tapi tidak setiap peraturan tak tertulis harus diikuti, kan. Selalu ada alasan untuk menolak sebuah gagasan.

Sebetulnya, tidak alasan juga saya memilih sarung ponsel warna merah muda tersebut. Saya membelinya lantaran tidak ada pilihan warna lainya yang sesuai dengan selera. Dan, yang lebih penting sarung tersebut bisa mencegah kerusakan pada barang atas kecerobohan yang biasanya saya buat.

***

Konon, Milan Kundera, pengarang yang lahir di Cekoslovakia (sebelum menjadi dua negara) dan berkewarganegaraan Perancis, dalam novelnya berjudul Immortality mengungkapkan tentang imagologi. Saya menulis konon karena belum pernah membaca Immortality tersebut dan hingga saat ini saya masih mencari karya tersebut. Saya ingin tahu 'binatang' apa imagology itu.

Namun izinkan saya untuk sedikit ngomongin 'hantu' tersebut berdasarkan beberapa ulasan tentang imagologi yang pernah saya baca. Jika apa yang tulis salah, rasanya tidak perlu permintaan maaf, tapi tolong diluruskan saja, ok.

Katanya, imagologi itu berasal dari kata imaji dan sinagog, tempat ibadah penganut agama Yahudi. Imagologi ini berkaitan dengan citra yang ternyata berbeda dengan kenyataanya. Tim sukses atau kampanye politik harus mempunyai keahlian memoles calonnya. Sama halnya dengan dengan biro iklan, perancang busana atau penata rambut.

Atas dasar apa perusahaan kecantikan menyatakan tren warna tahun mendatang adalah ini atau itu? Sementara perancang busana mengatakan, tren tahun depan seperti ini. Lalu mengapa warna merah muda tidak cocok bagi lelaki?

Dan, akhirnya semua yang dikatakan tersebut menjelma menjadi kenyataan baru.

***

Tadi malam saya nonton sinetron. Saya menikmati hidup dalam dunia hiperealitas.

.:: tol cipularang, 26.11.2010 ::.

Senin, 22 November 2010

dia keluar lagi, nonton konser dangdut

Setelah tertangkap kamera, Gayus Tambunan, 'sang Jayus', sedang menonton pertandingan Tenis di Bali beberapa waktu lalu, saya mendapat beberapa foto 'parodi' tentang kejadian tersebut. Bahkan, jelang Idul Adha lalu, beberapa teman mengirimkan lelucon bertemakan kasus yang menimpa pegawai golongan III-A yang duitnya puluhan milyar itu dihubungkan dengan hewan kurban.

Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Ternyata, Gayus telah menjadi inspirasi dan memacu kreatifitas sebagian orang. Foto rekayasa dan lelucon menjadi bukti hasil olah kreatif tersebut. Dan, kreatifitas tersebut bisa membuat tersenyum atau sekedar nyengir getir.

Ada foto kolase yang memperlihatkan sang Jayus memakai bermacam wig beraneka warna. Atau di foto rekayasa lainnya, tampak seorang pemimpin partai memakai kerudung duduk disamping Gayus. Foto lainya memperlihatkan, Gayus keluar rumah tahanan lagi untuk nonton Trio Macan beraksi. Lalu apa jadinya, jika sang Presiden memakai wig dan kacamata yang dipakai Gayus? Nah, cari saja sendiri foto rekayasanya. Fotonya banyak beredar di pasaran, ko. Hehehe...

Mungkin bagi sebagian orang menganggap 'jayus' foto-foto rekayasa dan lelucon tersebut. Bagi saya, foto-foto tersebut seolah-olah menertawakan apa yang terjadi di negeri ini. Begitu banyak kasus yang tak terselesaikan.

Dan, mengharapkan semua 'reality show' yang terjadi berakhir dengan kepatutan aturan hukum seperti mengharapkan bisa tinggal di Pulau Utopia. Ah, mari kita menyanyi lirik lagu John Mayer, "Now we see everything that's going wrong.... So we keep waiting, waiting on the world to change."

.:: hulang-huleng di LA, 22.11.2010 ::.

Kamis, 18 November 2010

Mang Daim

Mang Daim, demikian lelaki itu saya panggil. Saya tidak pernah tahu nama lengkapnya. Saya hanya mengikuti teman-teman juga kakak kelas yang terlebih dahulu sering menunggu mobil di portal yang biasa dia jaga. Mungkin yang lain juga tidak tahu nama asli dia. Kami menerima tanpa sadar nama Mang Daim itu.

Bagi pelajar yang berdomisili di daerah arah timur Leles dan bersekolah di kota kecamatan tersebut,-setidaknya, hingga akhir tahun '90-an-, dapat dipastikan mengenal sosok Mang Daim. Terutama siswa sekolah yang terbatas kemampuanya untuk membayar ongkos ojek atau kendaraan umum lainnya.

Pulang sekolah, kami berkumpul di pos portal Mang Daim, yang masuk daerah Nangkaleah. Kami menunggu mobil angkutan barang yang menuju ke arah desa atau kampung dimana kami berasal. Beberapa kampung tersebut diantaranya Cikondeh, Ciperang, Sukarame dan Pasir Guling. Jarak dari pos portal ke kampung saya yang bernama Ciperang sekitar 3 km.

Pemandangan anak sekolah naik truk pengangkut bata merah pada saat itu adalah hal biasa di daerah kami. Kerap saya alami, sebelum masuk kelas pakaian dan tubuh sudah kucel karena debu-debu batu bata merah menempel. Apalagi ketika pulang sekolah, saya semakin kucel karena naik mobil truk juga dari pos portal Mang Daim menuju rumah.

(Tapi, kalau ngomongin kucel, sampai saat ini saya masih kucel. Hehe... )

Saya tidak pernah ngobrol akrab dengan Mang Daim. Bahkan, saya yakin dia tak pernah tahu nama saya. Mungkin karena saya tidak pandai menjalin komunikasi. Tidak supel. Dan, dia juga mungkin menganggap siswa SMP seperti saya saat itu masih terlalu kecil untuk diajak berbincang, kendati sekedar obrolan ngalor-ngidul.

Namun bukan berarti Mang Daim tidak ramah. Yang pasti, bagi saya Mang Daim orang baik. Dia terkadang menghentikan mobil agar kami tidak kesorean pulang ke rumah. Padahal dia tidak mengambil uang portal dari mobil tersebut yang merupakan kewajibanya sebagai pegawai di Dispenda Garut seperti yang tertera di lengan baju coklat seragamnya.

Saya tidak tahu sudah berapa lama dia menjaga pos portal tersebut. Apalagi status kepegawaian dia di Dispenda, apakakah PNS atau Honorer. Namun menurut paman saya, dia juga mengenal Mang Daim sejak dia sekolah pada tahun '80-an. Artinya, Mang Daim sudah belasan tahun menjaga portal jalan tersebut.

Saat saya SMP, dia kira-kira sudah memasuki usia 50 tahunan. Namun tampangnya tampak lebih tua lagi. Wajah lelaki yang tingginya sekitar 165 centimeter tersebut sudah berkeriput. Matanya sering terlihat merah dengan kulit yang mengantung di bawahnya. Sepertinya, dia selalu kurang tidur.

Rambut yang sudah memutih di kepalanya menambah kesan tua. Giginya sebagian sudah tidak ada alias ompong. Sehingga kalau dua bibirnya mengatup tampak semakin menciut bagian bibir atasnya. Sementara bibirnya satunya tetap terjaga bentuknya lantaran tebal.

Entah ini yang dinamakan kesetiaan kerja; sepanjang yang saya ketahui dia tak pernah absen menjaga pos portal tersebut. Tiap hari saya menemukan Mang Daim di pos portal tersebut. Hanya Ahad saja saya tak menjumpainya, lantaran sekolah libur. Di hari Jumat pun, saat waktu sholat Jumat, dia lebih memilih jaga pos.

Kini, portal tersebut tidak ada. Bahkan sisa pos pun tidak ada. Saya tidak tahu dimana keberadaan Mang Daim. Kabarnya sudah meninggal. Saya berdoa, terbaik baginya. Dia orang baik yang selalu membantu anak sekolah seperti saya dulu.

.:: Ciperang, 18.11.2010, setelah lewati tempat bekas pos portal Mang Daim

Minggu, 07 November 2010

Gunung Tondano

Gunung Lokon


Syahdan, manusia yang berada di Bumi dengan para dewa di Langit pada zaman dulu masih bisa berhubungan. Gunung Lokon dan Soputan menjadi jalan manusia menuju Langit, begitu juga para dewa ketika akan turun ke Bumi. Namun demikian, manusia dan dewa masih terdapat batas. Tak bisa seenaknya manusia bermain ke Langit.

Tersebutlah seorang manusia bernama Warereh. Rasa ingin tahu membuat Warereh terlihat nakal. Para dewa merasa jengah ketika Warereh terus menerus mengintip kehidupan mereka di atas langit. Mereka merasa ruang pribadi telah diganggu oleh seorang manusia yang tak tahu diadat.
 

Akhirnya Warereh diburu oleh para dewa. Sebaliknya, Warereh pun menjadi marah. Warereh memotong bagian atas Gunung Lokon dengan pedang yang sangat besar. Bagian atas tersebut dia simpan di daerah Tonsea sehingga muncullah Gunung Klabat. Dia juga memotong Gunung Soputan dan melemparkan bagian terpotong tersebut ke lauatan di Wenang sehingga munculan Manado Tua. 

Sepenggal kisah tersebut dicatat oleh Pendeta N Graafland yang melakukan tugas pekabaran Injil di Minahasa pada tahun 1850-an. Legenda tersebut tumbuh di masyarakat Minahasa pada saat itu. Namun kini, semakin jarang 'keturunan Toar-Lumimuut' mengisahkan hal tersebut.
 

Dibalik cerita tersebut, ternyata di Minahasa tersebut terdapat sebuah gunung yang besar. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Pos Pengamatan Gunung Lokon, Farid Ruskanda Bina saat dijumpai di ruang kerjanya yang berada di Kelurahan Kakasakasen, Kota Tomohon. Saat itu Gunung Merapi di Jogyakarta sedang memuntahkan energi dari bawah perutnya.
 

Farid menunjukkan citra satelit wilayah Sulawesi Utara. Dari foto tersebut tampak jelas kontur sebuah gunung yang hampir meliputi wilayah Minahasa keseluruhan. "Kami menyebut gunung tersebut dengan nama Gunung Tondano, karena memang belum tercata apa nama gunung tersebut," ujar Farid.
 

Gunung tersebut sudah tidak aktif lagi. Namun, kata pria yang mempunyai kumis seperti Andy Malarangeng ini, ribuan atau puluhan ribuan tahun yang lalu, gunung tersebut beberapa kali meletus dengan kekuatan yang besar.
 

"Sisa letusan yang terjadi ribuan tahun yang silam dapat dilihat jelas di daerah Pantai Bentenan yang berada di Kabuapten Minahasa Tenggara. Di situ banyak bebatuan besar yang hasil letusan. Warnanya yang berbeda jelas antara krem tua dan lebih muda menunjukkan ledakan yang berbeda," jelas Farid.
 

Ledakan tersebut dipastikan menghasilkan kaldera yang sangat besar. Danau Tondano yang luasnya mencapai 4.680 hektare hanyalah bagian kecil dari Kaldera tersebut. Farid pun mengungkapkan, ternyata Gunung Soputan, Lokon, Manimporok atau Mahawu kemungkinan hanyalah berada di rim atau pinggiran kaldera tersebut. Sementara Gunung Klabat bukan bagian dari Gunung Tondano tersebut.
 

Dengan demikian, beberapa daerah di Minahasa seperti Kota Tomohon dan Tondano ternyata berada di sekitar Kaldera Gunung Tondano.
 

Entah, apakah ada hubungan antara Gunung Tandano dan legenda Warereh. Sehingga orang jaman dulu, menganggap Gunung Lokon dan Soputan merupakan tangga menuju Langit lantaran keberdaaan gunung yang tinggi tersebut. ***