Rabu, 06 Juli 2011

Pesta

Seharusnya saat ini menjadi waktu yang menyenangkan bagiku. Ini pesta perkawinan anak perempuanku yang bungsu. Lihatlah dia begitu cantik dengan manik-manik keemasan di baju pengantinya. Riasan wajah dan rambutnya pun tampak bersinar kekuningan diterpa lampu dalam gedung. Namun aku tak bisa menikmati pesta ini.

Bukan karena takut makanan tak cukup bagi ratusan undangan yang datang malam ini. Toh, aneka makanan telah terhidang di meja-meja yang telah disiapkan. Bahkan, mungkin sebagian akan terbuang atau dibawa pulang oleh sebagian tamu yang datang malam ini.

Bukan pula masalah sewa gedung yang cukup mahal. Anak lelakiku sudah membayar lunas sewa gedung beberapa hari sebelum resepsi perkawinan ini. Sebagai kakak tertua, dia ikut menyiapkan semua tetek bengek pesta ini. Beruntung anak lelakiku kenal beberapa orang berkuasa di daerah ini sehingga segala keperluan bisa teratasi.

Ketidaknikmatan pesta itu bukan pula karena menantu baruku. Kendati dia tak mempunyai modal yang cukup untuk mengawini anak perempuanku, aku bisa menerima pemuda itu menjadi bagian dalam keluargaku. Rasanya dia bisa menjadi suami yang baik. Mungkin.

Awalnya, aku merasa senang saat melihat sanak saudara keluargaku dan keluarga menantuku berdatangan satu per satu atau berkelompok. Mereka langsung duduk di kursi-kursi plastik yang telah disusun rapi, namun membiarkan deretan kursi paling depan kosong. Ya, kursi-kursi yang diselubungi kain dan tampak lebih nyaman itu diperuntukkan untuk para pejabat dan pimpinan di daerah ini.

Entah kenapa segelintir orang tersebut akhir-akhir ini sangat suka mendatangi pesta. Eh, bukan hanya pesta, tapi juga upacara pemakaman. Pokoknya mereka selalu mendatangi setiap acara yang diadakan warga. Mereka menjadi sangat peduli.

Satu yang pasti di setiap pesta, para petinggi terutama dua orang yang berkuasa kota kecil ini selalu menyanyi. Bahkan, ada yang membawa pemain musik sendiri kemana pun dia pergi. Sang pemimpin telah menyediakan pekerjaan, walaupun hanya bagi satu orang.

Menurut kabar yang sering aku dengar, pemimpin dan wakilnya sering sekali berebut untuk datang ke sebuah pesta untuk bernyanyi. Trik dan strategi dimainkan agar bisa menyanyi. Alhasil, kalau satu hadir dalam satu pesta, yang lainya tidak akan muncul pada pesta itu. Ah, tidak cukup hanya pemimpin besar saja yang menjadi penyanyi.

Tiba saat para pejabat muncul disusul dua orang penting itu. Perasaanku mulai tak nyaman. Suasana pesta sudah hilang sama sekali. Aku melihat ke deretan undangan di belakang mereka. Tanpa pejabat cukup bagiku membuat pesta ini meriah. Tapi kalau dipikir-pikir, kalau tanpa mereka, pesta ini menjadi biasa. Dan, aku dianggap biasa pula.

Sang pemimpin yang tak kupilih itu mendapat kesempatan memberikan pidato pengantar pesta. Dia sangat hati-hati berbicara namun tampak ingin segera meninggalkan pesta anakku. Bahkan, dia tidak bernyanyi saat itu kendati pemain musiknya telah naik ke panggung. Dia langsung pergi setelah berpidato.

Namun ketidaknyamananku terus berlanjut, ketika para pejabat nyanyi-nyanyi. Dan tiga jam masa sewa gedung itu habis. Setelah terasa lama sebelumnya menunggu usai mereka menyanyi, pesta ini jadi cepat berlalu. Mungkin, begitu cepat pula bagi mereka, waktu dua tahun agar dipilih menjadi pemimpin di kota kecil ini.

Anakku, selamat menikmati perkawinan ini hingga kau dan suamimu tutup usia. Itu doaku.

.:: Kotabangun, 6.7.2011 ::.