Kamis, 02 Desember 2010

tuhan dan pasangan manusia

Saya tersentak setelah membaca pesan singkat yang dikirim seorang teman sekitar satu jam menjelang tengah malam. Menurut saya, isinya mempertanyakan eksistensi Tuhan.

"Sabenerna Tuhan menciptakan manusia atau manusia menciptakan Tuhan?" Begitu isi pesan singkat tersebut tanpa ditambah atau dikurangi.

Saya gelagapan karena tidak siap menjawab pertanyaan seperti itu. Saya orang yang malas untuk mempertanyakan Tuhan. Saya cukup puas mengimani keberadaan Tuhan tanpa susah payah berpikir.

Untuk mengulur waktu saya balas pesan singkat tersebut setengah serius, tapi setengahnya lagi bukan becanda. "Baca we novel misteri soliter karya jostein gaarder, Al Quran, Bibel," jawab saya.

Namun tampaknya teman saya tidak puas dengan jawaban seperti itu. Akhirnya saya suruh dia telepon ke saya. Maka berbincanglah kami selama beberapa menit. Dan, waktu tidak akan pernah cukup untuk membicarakan Tuhan.

Saya mengemukakan pikiran Jostein Gaarder yang ada di novel Misteri Soliter. Saya juga sentil 'dunia gagasan-nya' Plato yang tidak sepenuhnya saya pahami tapi saya sukai.

"Tidak. Tuhan telah mati Hans Thomas. Dan, kitalah yang membunuhnya." Kalimat tersebut dikatakan oleh seorang ayah kepada anaknya yang bernama Hans Thomas dalam Novel Misteri Soliter.

Menurut sang Ayah yang sedang melakukan perjalanan dengan si anak mencari Bunda dari Hans Thomas, Tuhan ada dalam pikiran manusia. Bagaimana jika manusia tidak memikirkan keberadaan Tuhan?

Bagi saya, Tuhan itu selalu ada dalam dunia gagasan manusia. Sekuat apa pun menolak keberadaannya. Saya akan berfikir tentang kesemestaan, baik yang sangat kecil maupun yang maha luas.

Dan seperti pada bagian lainnya, Ayah dan Hans Thomas berbincang tentang betapa alam semesta itu sangat luar biasa hebatnya. Dan, saya mengatakan kepada teman saya jika dia seperti kelinci yang mencari tahu siapa pesulap yang telah menghadirkannya ke atas panggung.

Perbincangan kami meluas menjadi pertanyaan-pertanyaan lebih mengarah teologis. Dan, saya berterus terang kepada dia, jika saya tidak mempunyai ilmu untuk membicarakan hal tersebut.

Sayang perbincangan kami tidak berlanjut lantaran media yang kami pergunakan berkomunikasi mengalami gangguan. Saya berjanji untuk menelepon balik dia, dengan harapan suara di ponsel kami bisa lebih jernih.

Namun belum juga saya telepon, dia mengirimkan pesan singkat kalau perbincangan bisa kami lanjutkan esok hari. Saya juga meminta maaf kepada dia lantaran belum bisa mengkap poin yang ingin dia sampaikan.

Dia membalas, "Mun aya bule nanya..so what's d point? Jwban urg naha neng ***** (nama orang) kudu ####### (nama agama), urg kudu ##### (nama agama)... damn.. hahaha."

Itu rupanya...! Ah, saya jadi teringat teman saya yang lain...

.:: kolongan, antara 1-2.12.2010 ::

Jumat, 26 November 2010

sarung ponsel saya merah muda

"Wah, merah muda!" seru seorang teman dengan nada keheranan. Reaksi yang hampir sama dengan beberapa teman saya lainnya ketika melihat sarung pengaman ponsel saya. Bahkan, ada yang 'keukeuh' menyuruh saya untuk mengganti sarung tersebut. Tentu saja, saya tidak akan mengikuti saran teman tersebut.

Sarung tersebut masih bagus dan berfungsi dengan baik. Jadi, buat apa harus menggantinya. Jika alasannya estetika, maka setiap orang mempunyai selera masing-masing. Dan, kamu bisa menilai elegan, norak atau kampungan terhadap selera orang lain.

"Tapi warna itu untuk cewek," kata teman menyakinkan saya untuk mengganti sarung tersebut. Aneh mungkin baginya, melihat lelaki yang sudah meninggalkan usia remaja memakai barang berwarna cerah yang identik untuk cewek. Tapi tidak setiap peraturan tak tertulis harus diikuti, kan. Selalu ada alasan untuk menolak sebuah gagasan.

Sebetulnya, tidak alasan juga saya memilih sarung ponsel warna merah muda tersebut. Saya membelinya lantaran tidak ada pilihan warna lainya yang sesuai dengan selera. Dan, yang lebih penting sarung tersebut bisa mencegah kerusakan pada barang atas kecerobohan yang biasanya saya buat.

***

Konon, Milan Kundera, pengarang yang lahir di Cekoslovakia (sebelum menjadi dua negara) dan berkewarganegaraan Perancis, dalam novelnya berjudul Immortality mengungkapkan tentang imagologi. Saya menulis konon karena belum pernah membaca Immortality tersebut dan hingga saat ini saya masih mencari karya tersebut. Saya ingin tahu 'binatang' apa imagology itu.

Namun izinkan saya untuk sedikit ngomongin 'hantu' tersebut berdasarkan beberapa ulasan tentang imagologi yang pernah saya baca. Jika apa yang tulis salah, rasanya tidak perlu permintaan maaf, tapi tolong diluruskan saja, ok.

Katanya, imagologi itu berasal dari kata imaji dan sinagog, tempat ibadah penganut agama Yahudi. Imagologi ini berkaitan dengan citra yang ternyata berbeda dengan kenyataanya. Tim sukses atau kampanye politik harus mempunyai keahlian memoles calonnya. Sama halnya dengan dengan biro iklan, perancang busana atau penata rambut.

Atas dasar apa perusahaan kecantikan menyatakan tren warna tahun mendatang adalah ini atau itu? Sementara perancang busana mengatakan, tren tahun depan seperti ini. Lalu mengapa warna merah muda tidak cocok bagi lelaki?

Dan, akhirnya semua yang dikatakan tersebut menjelma menjadi kenyataan baru.

***

Tadi malam saya nonton sinetron. Saya menikmati hidup dalam dunia hiperealitas.

.:: tol cipularang, 26.11.2010 ::.

Senin, 22 November 2010

dia keluar lagi, nonton konser dangdut

Setelah tertangkap kamera, Gayus Tambunan, 'sang Jayus', sedang menonton pertandingan Tenis di Bali beberapa waktu lalu, saya mendapat beberapa foto 'parodi' tentang kejadian tersebut. Bahkan, jelang Idul Adha lalu, beberapa teman mengirimkan lelucon bertemakan kasus yang menimpa pegawai golongan III-A yang duitnya puluhan milyar itu dihubungkan dengan hewan kurban.

Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Ternyata, Gayus telah menjadi inspirasi dan memacu kreatifitas sebagian orang. Foto rekayasa dan lelucon menjadi bukti hasil olah kreatif tersebut. Dan, kreatifitas tersebut bisa membuat tersenyum atau sekedar nyengir getir.

Ada foto kolase yang memperlihatkan sang Jayus memakai bermacam wig beraneka warna. Atau di foto rekayasa lainnya, tampak seorang pemimpin partai memakai kerudung duduk disamping Gayus. Foto lainya memperlihatkan, Gayus keluar rumah tahanan lagi untuk nonton Trio Macan beraksi. Lalu apa jadinya, jika sang Presiden memakai wig dan kacamata yang dipakai Gayus? Nah, cari saja sendiri foto rekayasanya. Fotonya banyak beredar di pasaran, ko. Hehehe...

Mungkin bagi sebagian orang menganggap 'jayus' foto-foto rekayasa dan lelucon tersebut. Bagi saya, foto-foto tersebut seolah-olah menertawakan apa yang terjadi di negeri ini. Begitu banyak kasus yang tak terselesaikan.

Dan, mengharapkan semua 'reality show' yang terjadi berakhir dengan kepatutan aturan hukum seperti mengharapkan bisa tinggal di Pulau Utopia. Ah, mari kita menyanyi lirik lagu John Mayer, "Now we see everything that's going wrong.... So we keep waiting, waiting on the world to change."

.:: hulang-huleng di LA, 22.11.2010 ::.

Kamis, 18 November 2010

Mang Daim

Mang Daim, demikian lelaki itu saya panggil. Saya tidak pernah tahu nama lengkapnya. Saya hanya mengikuti teman-teman juga kakak kelas yang terlebih dahulu sering menunggu mobil di portal yang biasa dia jaga. Mungkin yang lain juga tidak tahu nama asli dia. Kami menerima tanpa sadar nama Mang Daim itu.

Bagi pelajar yang berdomisili di daerah arah timur Leles dan bersekolah di kota kecamatan tersebut,-setidaknya, hingga akhir tahun '90-an-, dapat dipastikan mengenal sosok Mang Daim. Terutama siswa sekolah yang terbatas kemampuanya untuk membayar ongkos ojek atau kendaraan umum lainnya.

Pulang sekolah, kami berkumpul di pos portal Mang Daim, yang masuk daerah Nangkaleah. Kami menunggu mobil angkutan barang yang menuju ke arah desa atau kampung dimana kami berasal. Beberapa kampung tersebut diantaranya Cikondeh, Ciperang, Sukarame dan Pasir Guling. Jarak dari pos portal ke kampung saya yang bernama Ciperang sekitar 3 km.

Pemandangan anak sekolah naik truk pengangkut bata merah pada saat itu adalah hal biasa di daerah kami. Kerap saya alami, sebelum masuk kelas pakaian dan tubuh sudah kucel karena debu-debu batu bata merah menempel. Apalagi ketika pulang sekolah, saya semakin kucel karena naik mobil truk juga dari pos portal Mang Daim menuju rumah.

(Tapi, kalau ngomongin kucel, sampai saat ini saya masih kucel. Hehe... )

Saya tidak pernah ngobrol akrab dengan Mang Daim. Bahkan, saya yakin dia tak pernah tahu nama saya. Mungkin karena saya tidak pandai menjalin komunikasi. Tidak supel. Dan, dia juga mungkin menganggap siswa SMP seperti saya saat itu masih terlalu kecil untuk diajak berbincang, kendati sekedar obrolan ngalor-ngidul.

Namun bukan berarti Mang Daim tidak ramah. Yang pasti, bagi saya Mang Daim orang baik. Dia terkadang menghentikan mobil agar kami tidak kesorean pulang ke rumah. Padahal dia tidak mengambil uang portal dari mobil tersebut yang merupakan kewajibanya sebagai pegawai di Dispenda Garut seperti yang tertera di lengan baju coklat seragamnya.

Saya tidak tahu sudah berapa lama dia menjaga pos portal tersebut. Apalagi status kepegawaian dia di Dispenda, apakakah PNS atau Honorer. Namun menurut paman saya, dia juga mengenal Mang Daim sejak dia sekolah pada tahun '80-an. Artinya, Mang Daim sudah belasan tahun menjaga portal jalan tersebut.

Saat saya SMP, dia kira-kira sudah memasuki usia 50 tahunan. Namun tampangnya tampak lebih tua lagi. Wajah lelaki yang tingginya sekitar 165 centimeter tersebut sudah berkeriput. Matanya sering terlihat merah dengan kulit yang mengantung di bawahnya. Sepertinya, dia selalu kurang tidur.

Rambut yang sudah memutih di kepalanya menambah kesan tua. Giginya sebagian sudah tidak ada alias ompong. Sehingga kalau dua bibirnya mengatup tampak semakin menciut bagian bibir atasnya. Sementara bibirnya satunya tetap terjaga bentuknya lantaran tebal.

Entah ini yang dinamakan kesetiaan kerja; sepanjang yang saya ketahui dia tak pernah absen menjaga pos portal tersebut. Tiap hari saya menemukan Mang Daim di pos portal tersebut. Hanya Ahad saja saya tak menjumpainya, lantaran sekolah libur. Di hari Jumat pun, saat waktu sholat Jumat, dia lebih memilih jaga pos.

Kini, portal tersebut tidak ada. Bahkan sisa pos pun tidak ada. Saya tidak tahu dimana keberadaan Mang Daim. Kabarnya sudah meninggal. Saya berdoa, terbaik baginya. Dia orang baik yang selalu membantu anak sekolah seperti saya dulu.

.:: Ciperang, 18.11.2010, setelah lewati tempat bekas pos portal Mang Daim

Minggu, 07 November 2010

Gunung Tondano

Gunung Lokon


Syahdan, manusia yang berada di Bumi dengan para dewa di Langit pada zaman dulu masih bisa berhubungan. Gunung Lokon dan Soputan menjadi jalan manusia menuju Langit, begitu juga para dewa ketika akan turun ke Bumi. Namun demikian, manusia dan dewa masih terdapat batas. Tak bisa seenaknya manusia bermain ke Langit.

Tersebutlah seorang manusia bernama Warereh. Rasa ingin tahu membuat Warereh terlihat nakal. Para dewa merasa jengah ketika Warereh terus menerus mengintip kehidupan mereka di atas langit. Mereka merasa ruang pribadi telah diganggu oleh seorang manusia yang tak tahu diadat.
 

Akhirnya Warereh diburu oleh para dewa. Sebaliknya, Warereh pun menjadi marah. Warereh memotong bagian atas Gunung Lokon dengan pedang yang sangat besar. Bagian atas tersebut dia simpan di daerah Tonsea sehingga muncullah Gunung Klabat. Dia juga memotong Gunung Soputan dan melemparkan bagian terpotong tersebut ke lauatan di Wenang sehingga munculan Manado Tua. 

Sepenggal kisah tersebut dicatat oleh Pendeta N Graafland yang melakukan tugas pekabaran Injil di Minahasa pada tahun 1850-an. Legenda tersebut tumbuh di masyarakat Minahasa pada saat itu. Namun kini, semakin jarang 'keturunan Toar-Lumimuut' mengisahkan hal tersebut.
 

Dibalik cerita tersebut, ternyata di Minahasa tersebut terdapat sebuah gunung yang besar. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Pos Pengamatan Gunung Lokon, Farid Ruskanda Bina saat dijumpai di ruang kerjanya yang berada di Kelurahan Kakasakasen, Kota Tomohon. Saat itu Gunung Merapi di Jogyakarta sedang memuntahkan energi dari bawah perutnya.
 

Farid menunjukkan citra satelit wilayah Sulawesi Utara. Dari foto tersebut tampak jelas kontur sebuah gunung yang hampir meliputi wilayah Minahasa keseluruhan. "Kami menyebut gunung tersebut dengan nama Gunung Tondano, karena memang belum tercata apa nama gunung tersebut," ujar Farid.
 

Gunung tersebut sudah tidak aktif lagi. Namun, kata pria yang mempunyai kumis seperti Andy Malarangeng ini, ribuan atau puluhan ribuan tahun yang lalu, gunung tersebut beberapa kali meletus dengan kekuatan yang besar.
 

"Sisa letusan yang terjadi ribuan tahun yang silam dapat dilihat jelas di daerah Pantai Bentenan yang berada di Kabuapten Minahasa Tenggara. Di situ banyak bebatuan besar yang hasil letusan. Warnanya yang berbeda jelas antara krem tua dan lebih muda menunjukkan ledakan yang berbeda," jelas Farid.
 

Ledakan tersebut dipastikan menghasilkan kaldera yang sangat besar. Danau Tondano yang luasnya mencapai 4.680 hektare hanyalah bagian kecil dari Kaldera tersebut. Farid pun mengungkapkan, ternyata Gunung Soputan, Lokon, Manimporok atau Mahawu kemungkinan hanyalah berada di rim atau pinggiran kaldera tersebut. Sementara Gunung Klabat bukan bagian dari Gunung Tondano tersebut.
 

Dengan demikian, beberapa daerah di Minahasa seperti Kota Tomohon dan Tondano ternyata berada di sekitar Kaldera Gunung Tondano.
 

Entah, apakah ada hubungan antara Gunung Tandano dan legenda Warereh. Sehingga orang jaman dulu, menganggap Gunung Lokon dan Soputan merupakan tangga menuju Langit lantaran keberdaaan gunung yang tinggi tersebut. ***

Sabtu, 12 Juni 2010

Kowalski

Laki-laki tua mati diberondong peluru. Tao dan Daisy susuri kota dengan Gran Torino 1972.
Kowalski

Walt Kowalski mempunyai tiga dosa yang membebani hidupnya. Pertama mencium perempuan lain, sementara istrinya ada di ruangan lain. Kedua tidak membayar pajak ketika mendapat keuntungan dari hasil penjualan perahu. Ketiga tidak dekat dan tidak tahu caranya agar bisa akrab dengan dua anak serta cucu-cucunya.

Setidaknya itu yang diakuinya dihadapan Padri yang memaksanya untuk melakukan pengakuan. Bukan karena membunuh remaja dengan sekop atau 12 orang lainnya yang ia habisi ketika dia harus ikut berperang di Korea tahun 1950-an. “Aku tidak pernah cemas atas apa yang diperintahkan,” ujarnya kepada Padri muda tersebut.

Kowalski adalah orang tua yang keras, kaku, suka mengumpat, tetapi akrab dengan rekan sebayanya. Membenci tetangga Hmong-nya, kendati akhirnya di lingkungan tersebutlah ia merasa nyaman. Kenyaman yang bermula dari ketidaknyamanan.

Dia menjadi akrab dengan dua remaja kakak beradik dari komunitas Hmong, Sue dan Tao, setelah Tao mencoba mencuri mobil Gran Torino 1972, harta yang sangat berharga Kowalski; simbol kebanggaan pria tua itu setelah 50 tahun bekerja di Ford. Bagi Tao, pencurian itu merupakan syarat inisiasinya dengan geng Hmong.

Kowalski memberikaan pelajaran hal-hal praktis untuk hidup pada Tao. Bahkan, diajarinya bagaimana orang dewasa mengumpat untuk menjalin komunikasi sosialnya. Kowalski menjadi role mode bagi Tao.

Pria tua itu mati ketika mendatangi geng Hmong setelah teror yang dilakukan geng tersebut pada keluarga Tao. Dia diberondong peluru.

Sampul

Potret orang tua memegang senjata dan ledakan mobil di gambar sampul DVD bajakan film Gran Torino menjadi alasan untuk tidak melihat isi film yang dibintangi disutradarai aktor gaek Clint Eastwood tersebut. DVD itu masuk dalam dus sepatu warna merah.

Namun, sore itu teman saya yang mengirim kepingan padat itu menulis pesan di YM : “Gran Torino lebih layak mendapat Oscar daripada Slumdog Millionaire.”

Dia menyarankan untuk menonton dulu film tersebut. “Ada kritik sosial yang dalam, dibandingkan film india yang temanya biasa saja itu,” tulisnya.

Saya belum menonton slumdog, tetapi dengan raihan 8 Oscar tentu menarik hati saya. Hanya belum dapat saja DVD bajakannya. Hehe.

Apa yang dikatakan teman tersebut, membuat saya memutuskan untuk melihat film Gran Torino. Dont judge a book by its cover, ah, ternyata tembakan hanya ada di akhir film. Walaupun hampir setiap saat sang kakek mengeluarkan senjata, tapi senjata tersebut tidak pernah digunakannya. ::.

Regesan

Regesan apabila diartikan secara bebas adalah angin bertiup nan sejuk. Rasa itu yang membuat Indra Sasube selalu ingin melongok air terjun yang terletak di Tinoor, Tomohon. "Jika saya menginginkan ketenangan, saya akan datang ke tempat ini. Sejuk dan pikiran pun menjadi tenang," kata remaja yang baru saja menyelesaikan ujian akhir.

Air yang jatuh dari atas tebing setinggi sekitar 30 meter tersebut seakan saling berkejaran. Berusaha untuk segera mecapai dasar danau kecil yang berada di bawahnya. Namun, sebagian air tersebut sudah terhempas ketika mengenai batu yang menonjol diantara tebing.

Ada juga bagian-bagian kecil yang tidak bisa bertahan dari arus utama. Mereka berhamburan dan terhempas hampir tak terlihat. Seperti kabut, tapi percikan kecilnya terasa di tubuh. Sementara itu, aliran sungai tak berhenti bergemuruh.

Sudah enam kali dalam beberapa bulan terakhir, Indra anggota kelompok pecinta alam ini datang ke Regesan. Kadanng dia datang sendiri atau bersama teman-temanya. "Selalu ada yang baru setiap kali datang ke sini," katanya.

Bagi saya, sekali cukup sudah. Untuk bisa menikmati keindahan Air Terjun Regesan Tinoor Satu, harus menuruni tebing dengan sudut kecuraman hampir mendekati 80 derajat. Jalan terjal tersebut kira-kira jaraknya 50 meteran dari atas ke bawah. Tidak perlu hati-hati, tapi ekstra hati-hati yang dibutuhkan selama menuruni tebing itu.

Kendati jaraknya hanya sekitar 300 meter saja dari jalan raya Manado-Tomohon, air terjun Regesan tidak akan mudah ditemui. Dia teresembunyi. Tertutup rimbunan tanaman diantara perbukitan, di sebuah lembahan yang tebingnya sangat curam.

Jika berniat pergi ke air terjun tersebut, maka sebagai patokannya adalah sebuah bangunan mirip gardu di tepi jalan Manado-Tomohon. Bangunan yang dindingnya coreng moreng karena aksi vandalisme itu terletak di sebelah kiri . Jaraknya sekitar 75 meter sebelum jalan masuk ke Kelurahan Tinoor jika dari arah Manado.

Dari bangunan yang tidak terawat itu, ada jalan setapak yang sudah plester. Ikuti jalan setapak itu hingga sampai sekira 250 meter. Di pinggiran jalan setapak itu ada satu dua rumah dan beberapa tempat duduk yang sepertinya sengaja dibuat bagi para pengunjung.

Setelah mentok, ada sebuah jalan setapak kecil. Dia berada di sebuah tebing. Dan jalan itulah satu- satunya untuk menuju Air Terjun Regesan. Perlu keberanian dan persiapan fisik yang cukup untuk menuruni tebing tersebut.

Bagi yang tidak terbiasa atau pertamakali, mungkin bukan hanya kaki saja yang dipakai untuk berjalan. Tapi juga, tangan, bahkan bagian tubuh lainnya harus memijak di tanah. Jalan kecil ini bahaya. Tidak ada pengaman.

"Dulu ada beberapa pohon yang sengaja di taruh sebagai pijakan atau tempat untuk digang tangan, tapi banyak yang hilang. Mungkin karena jatuh atau para pengunjung yang iseng merusaknya," ujar Indra.

Namun bagi sebagaian orang, hal tersebut justru memacu adrenalin untuk menaklukannya. Seperti beberapa anak sekolah yang melepas penat setelah Ujian Nasional. "Kami ke sini memang untuk refresing," ujar Arland dari SMAN 3 Manado.

Semua penat itu hilang manakala sudah tiba di bawah lembah dan melihat air terjun tersebut. Tenaga seakan pulih kembali ketika melihat indahnya air terjun tersebut. Dan, tenaga itu haru disimpan, untuk bekal pulang kembali ke atas bukit.

Monyet Putih

Air terjun Regesan Tinoor mempunyai sebuah kisah. Cerita turun temurun yang semakin kabur dan selalu terselip kata konon saat mereka menceritakannya.

Ada makhluk berupa yeti; wolay atau monyet yang menjaga keasrian tempat tersebut. "Berbeda dengan monyet biasanya. Menurut cerita, monyet ini berwarna putih dari ujung kepala hingga kaki," ujar Oscar Lolowang, warga Kelurahan Tinoor.

Saya membayangkan Hanoman.

Kata Oscar, wolay ini sangat protektif. Jadi jangan coba-coba berbuat onar atau melakukan hal yang tidak dibenarkan secara moral di tempat tersebut. Bila tidak monyet putih tersebut akan mengejar si pembuat onar tersebut.

"Sebab itu, jangan berteriak-teriak atau bagi yang berpacaran jangan sampai berlebihan jika berada di air terjun itu," kata Oscar.

Namun sepengetahuan dia, hingga saat ini memang belum ada yang melihat monyet putih tersebut. "Tapi kabarnya memang dia selalu menunggui tempat tersebut," imbuhnya.

"Namun, mungkin pesan yang ingin disampaikan orangtua dulu adalah pentingnya menjaga tempat tersebut agar tetap asri."

Di luar cerita tersebut, Oscar mengatakan keasrian dan keindahan alam tersebut sayang jika dibiarkan dan tidak terawat seperti sekarang. Dia berharap Pemerintah Kota Tomohon dapat memperhatikan aset wisata tersebut.

"Itu hanya air terjun satu saja, apalagi jika melangkah lebih jauh ada air terjun empat, dimana air yang jatuh tidak hanya satu tapi empat dalam satu areal. Pasti banyak orang yang tertarik datang," ujarnya.

Tidak terawatnya tempat tersebut dapat terlihat sejak akan memasuki areal air terjun tersebut. Gardu di pinggir jalan Tomohon-Manado sudah coreng moreng, tempat-tempat istirtahat sepanjang jalan kendati masih bagus sudah kotor.

Harap Oscar, "Jangan biarkan aset berharga ini menjadi rusak. Jadi saya harap, tempat ini bisa dikelola dengan baik yang pada akhirnya secara ekonomi dapat menguntungkan kepada masyarakat yang berada di sekitarnya."

Jika harapan Oscat ditujukan kepada pemerintah, sepertinya tidak akan terkabulkan. Setidaknya dalam setahun ini.

Tahun 2010, anggaran tertata pada APBD Kota Tomohon untuk dunia kebudayaan dan pariwisata adalah Rp 9,6 milyar. Sebagian besar anggaran tersebut diperuntukkan untuk kegiata Tomohon of Flower sebesar Rp 8 milyar.

Sisanya adalah gaji pegawai Rp 980 juta. Sekitar Rp 800 juta untuk kegiatan pariwisata dan kebudayaan, termasuk di dalamnya untuk pembanguan infrastruktur tujuan wisata.

Pembangunan infrastruktur tujuan wisata dianggarkan hanya Rp 100 juta. Duit sejumlah itu, diperuntukkan untuk membuat toilet dan gazebu di tempat wisata Danau Linow dan Gunung Mahawu. ***

Warereh

Rasa ingin tahu membuat Warereh kelihatan nakal. Dan, para dewa merasa jengah ketika Warereh terus menerus mengintip kehidupan mereka di atas langit.

Mereka merasa ruang pribadi telah diganggu oleh seorang manusia yang tak tahu diadat.

Perasaaan terganggu yang menumpuk menjadi amarah. Amarah yang hebat. Amarah yang membuat gempa di bumi. Membunuh Warereh menjadi puncak amarah.

Maka, buru dan burulah Warereh kemana pun dia pergi.

Warereh bersembunyi. Memupuk dendam yang dahsyat dalam hati. Pedang maha panjang dan besar menjadi piranti diri.

Dendam membuat dia menjadi kuat untuk memotong Lokon. Gunung yang menjadi jalan dia ke langit untuk melihat para dewa. Dunia bergemuruh. Manusia pucat. Dewa heran.

Klabat, ujung atas Lokon itu, diletakaan di atas kepala dia. Arah pantai Tonsea menjadi tujuan. Di tanah itu dia letakkan Klabat.

Dendan membuncah tiada henti. Soputan yang menjadi jalan lain ke surga dia potong. Dia lemparkan potongannya ke tengah lautan Wenang. Manado Tua pun muncul.

Terputus sudah jalan antara langit dan bumi. Tepisah untuk selamanya.

Manusia membenci Warereh, saudaranya sendiri. Manusia menganggap hanya ejekan dan hinaan yang pas bagi si pengganggu perdamaian. Warereh tertelan sepi.

.::Tumatangtang, antara 24-25 Mei 2010::.
Sumber: N Graafland, Minahasa:Negeri, Rakyat dan Budayanya

django

Penjual batagor di dekat pertigaan Tololiu memanggil lelaki tua itu Opa. Sebutan yang jamak bagi orang Tomohon,-bahkan mungkin umumnya orang Minahasa-, untuk memanggil orang yang sudah berusia lanjut.

Penjual batagor bukan tou Minahasa. Mereka asal Malangbong, Garut, yang menulis Batagor Bandung di gerobak dagangannya. Mereka memanggil Opa pada lelaki itu mungkin merupakan usaha 'mihapekeun maneh' dengan budaya setempat.

Dalam beberapa kali percakapan yang kering dengan lelaki itu, saya panggil dia Opa. Tapi, suatu waktu saya panggil dia dengan sebutan Abah. Panggilan yang biasanya saya berikan kepada orang tua di kampung untuk lebih mengakrabkan diri.

Entah berapa usia opa ini. Saya tidak pandai menerka. Tapi saya beranikan diri untuk menjadi orang pandai; mungkin dia berusai 60 tahunan. Mungkin 65 tahun. Tapi, bisa jadi lebih muda dari dugaan saya. Kesenangan dan kesusahan hidup bisa membuat seseorang kelihatan lebih tua atau sebaliknya.

Lelaki ini tingginya sekitar 168 centimeteran. Saya tahu, saat ia berpapasan dengan saya. Bahunya hampir sejajar dengan dengan bahu saya. Dia kurus. Ini tampak terlihat dari tulang-tulang tangannya yang menonjol dibalik kulit tipis mengkerut yang membungkusnya. Wajahnya pun dihiasi kerutan mendekati keriput.

Satu tanda yang jelas dan khas pada pria ini adalah topi bundar di kepalanya. Topi ini sepertinya hanya dilepas saat kepalanya terasa gatal. Bila itu terjadi, tampaklah kepalanya yang sudah membotak. Rambut tipis menguban ternyata hanya tumbuh sedikit subur dibagian bawah kepalanya. Rambut yang memanjang dia ikat dengan tali karet.

Satu lagi yang gampang dikenali. Di sela dua bibir biasanya terselip rokok. Asap selalu keluar seakan tak henti dari mulut dengan gigi-giginya yang sudah meninggalkan gusinya. Saat merokok dia selalu mengadahkan dagunya sedikit ke atas. Jika menghisap, matanya sedikit tertutup. Matanya kembali normal berbarengan dengan keluarnya asap rokok.

Di dekat kedai batagor itu, hampir tiap hari dia berjualan langsa atau dukuh. Kadang-kadang rambutan atau buah lainnya dia jual juga. Namun, langsa tetap menjadi dagangan utamanya. Entah jam berapa dia mulai berdagang. Yang jelas, biasanya saya lihat dia berbenah untuk pulang (entah kemana pulangnya), rata-rata jam dinding di kedai batagor itu menunjukkan pukul sembilan malam.

Dia lebih banyak diam menunggu dagangannya. Sesekali dia masuk ke kedai sekedar melihat acara televisi yang menarik hatinya. Sepertinya dia tidak pernah mengeluh dan setia dengan apa yang dia lakukan. Mungkin kesetiannaya tersebut bukan karena hatinya menginginkan itu, namun kebutuhannya yang membuatnya bertahan. Itu hanya dugaan saya saja.

Seperti saya katakan sebelumnya. Dia lebih banyak diam dari pada bicara. Tidak banyak menunjukkan ekspresi kecuali pada pada siaran olahraga yang disiarkan di televisi. Namun suatu waktu, ternyata dia bisa juga menunjukkan rasa sukanya.

Ketika itu adalah manakala seorang penjual batagor meminta saya untuk menunjukkan bagaimana menggunakan kamera poket digital yang biasa saya pakai bekerja. Saat sang penjual batagor itu cari objek untuk di foto, kebetulan opa sedang berada di dalam dengan rokok di bibirnya.

Maka saya pun menunjukkan caranya dengan menjepret Opa. Opa tampak tidak keberatan. Bahkan, dia merokok dengan sedikit bergaya. Ketika saya perlihatkan kepada lelaki pedagang langsa itu, dia tampak senang.

"Seperti Django," ujar dia singkat dengan sedikit senyum. Django sang koboy. Django film western buatan orang Italia yang kabarnya film tersadis yang pernah dibuat. Setidaknya itu yang saya tahu tentang Django.

Namun setelah 'sesi pemotretan' pertama itu selesai, sang Opa tampak enggan difoto lagi. Entah apa sebabnya. Dia bahkan seolah menjauh saat saya sekedar mengeluarkan kamera yang sebelumnya telah dimasukan ke kantong saya.

Saat saya pulang, dia berdiri di sisi pintu antara gerobak Batagor sambil melihat jalanan yang sudah lengang, temaram mendekati gelap dan basah. Saya tidak mau mengganggunya.

Bebebarapa hari terakhir ini, saya tidak pernah berjumpa dengan dia. Flu hebat membuat saya memilih tidak menuai angin malam. Lebih baik saya diam di rumah. Namun, saat itu saya menjadi kepikiran, siapa nama Opa sebenarnya?

.::Tumatangtang, antara 21 - 22 Mei 2010::.