Senin, 31 Oktober 2011

Begundal

SUDAH sekitar sepekan berlalu saat saya berjanji untuk meminjamkan buku tentang sepakbola tulisan Franklin Foer kepada teman saya, Anton Iwan. Buku yang saya beli lima tahun lalu, namun saya tidak bosan untuk membaca berkali-kali.

Anton tertarik meminjam lantaran saya katakan dalam buku tersebut ada bagian yang membahas Barcelona, tim kesayangan dia. Entah karena Lionel Messi atau Barcelonanya yang membuat dia suka klub bermoto mas que un club; bukan sekedar klub. Biarlah alasan itu jadi urusan dia.

Satu di antara bagian buku berjudul Memahami Dunia lewat Sepakbola: Kajian tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi, memaparkan bagaimana penggemar sebuah tim sepakbola bisa menjadi irasional karena sangat mencintai klubnya. Terkadang super ego tidak bisa lagi membendung laju ego, sehingga alih-alih melakukan tindakan yang menguntungkan bagi klub kesayangannya, malah merugikan dengan tindakan-tindakan bodoh.

Sepakbola layaknya agama bagi sebagian orang. Menonton tim kesayangan adalah ritus yang wajib dilakukan yang tidak cukup dilakukan di rumah, tapi harus dilakukan berjamaah di tempat ibadah yang agung: stadion. Kekerasan, pengrusakan barang-barang publik adalah bukti penyerahan diri, pengorbanan bagi yang terkasih.

Selama 90 menit, rasa cemas, tegang dan tekanan emosi lainnya pasti dirasakan oleh fans sepakbola ketika tim kesayangannya bertanding, apalagi bila gol yang ditunggu-tunggu tidak terjadi. Dan, bayangkan jika harus melakukan perpanjangan waktu, tidak hanya pemain yang kecapaian, penonton pun terkuras secara fisik maupun emosi. Apabila tekanan emosi tidak terlampiaskan, penonton mencari saluran untuk mengeluarkan ‘magma’ emosinya dan boom....!!! Terjadilah ‘erupsi’: kekerasan! Setidaknya demikian yang dikatakan Foer.

Rasa cinta tidak hanya melahirkan kebahagiaan tapi juga bisa menimbulkan sakit yang dalam. Dalam bab Sepakbola dan Pesona Nasionalisme Borjuis yang membahas Barcelona, di alinea-alinea terakhirnya, Foer yang merupakan seorang jurnalis, mengisahkan bagaimana penggemar Barcelona yang berteriak-teriak dengan sumpah serapahnya di pinggir lapangan tempat latihan klub tersebut.

Para penggemar tersebut menuntut yang sebenarnya sudah akan dikabulkan oleh pihak manajemen yaitu pengunduran Louis Van Gaal, pelatih Barca saat itu. Ketika Foer bertanya pada salah seorang pemrotes alasan tindakan keras mereka, pemrotes tersebut menjawab, “Kami begitu membencinya (van Gaal) karena kami mencintai Barca begitu rupa. Sakit rasanya.”

Itulah Sepakbola. Tapi, tidak harus menjadi begundal ketika kita teramat mencintai sesuatu. Mungkin kita bisa gila karena cinta kita, tapi tidak harus mengganggu hak orang lain. Demikian Foer menggambarkan pribadi warga Katalunya di mana Barcelona yang mempunya karakter seny dan rauxa layaknya keseimbangan antara yin dan yang.

.::: Kotabangon, 5.9.2011 :::..

Foto diambil dari http://marjinkiri.com/books/bola.htm

Rambut

Robert De Niro
Sex Pistol dengan lagu Anarchy in U.K boleh jadi membuat 'genre musik' Punk dikenal dan mewabah di Eropa pada dekade '70an. 

Band ini bersama The Clash dan The Damned disebut-sebut sebagai gelombang pertama yang menyapu Inggris dan negara-negara di Benua Biru lainya dengan musik yang mereka bawakan.

Namun untuk urusan gaya rambut mohawk atau mohican, vokalis The Exploited, Walter 'Wattie' Buchan, rupanya menjadi rujukan para Punkers. 

Bahkan, gaya rambut jocong bagian tengah dengan bagian kanan dan kiri kepala plontos veteran Perang Malvinas ini pun tak hanya diikuti para Punkers.

Dengan beberapa variasi gaya rambut ala Wattie Buchan menjadi pilihan selebritis atau atlet hingga diikuti oleh orang kebanyakan. 

Masih ingat gaya rambut Faux Hawk atau mohawk palsu pesepakbola Inggris, David Beckham? Suatu kali, pasti pernah lihat di lingkungan kita yang bergaya rambut tersebut.

"Namun rambut bukan sekadar mahkota penampilan. Gaya rambut juga bisa menunjukkan apa yang ada dalam pikiran, bahkan sebagai bentuk perlawanan," ujar seorang teman pada suatu siang di Padasuka, Bandung, beberapa tahun lalu.

Teman ini pun memberikan kuliah singkat tentang gaya rambut yang tak lazim dari para Punkers. Kata dia, "Itu bukan sekedar fashion, tapi satu simbol dari movement (gerakan) yang didengungkan masyarakat yang tidak puas terhadap keadaan negara."

Sama halnya, lanjut dia, dengan rambut panjang yang juga jadi ciri kaum hippies di dekade '60-an di Amerika Serikat. 

Gaya hidup bohemanian dengan slogan 'sex, drugs dan rock n roll' menjadi perlawanan atas kemapanan masyarakat saat itu dengan menampilkan profil kaum muda berambut panjang.

Di Indonesia, pria berambut panjang pada masa orde baru bisa jadi dianggap pengacau. 

"Pernah denger teu, dulu aya tim nu bentuk pemerintah keur motong rambut pria nu panjang? (Pernah dengar tidak, dulu ada tim bentukan pemerintah untuk memotong rambut pria berambut panjang?)" kata teman saya itu.

***
Setelah gagal di Garut, Bandung dan Jakarta, rambut ini akhirnya dipangkas juga di Bogor.

.:: Garuk-garuk kepala di Jagakarsa, awal tanggal 28.10.2011 ::.

Caption Foto : Rober De Niro memerankan Travis Bickle dalam film Taxi Driver (1976) bergaya Mohawk .

Minggu, 30 Oktober 2011

Sophie Amundsen

Di tengah gelombang film-film serial drama korea (K-Drama), seorang teman saya lebih memilih menonton sinetron lepas atau film televisi (ftv). Alasan dia sederhana; ceritanya cepat selesai dan tetap menghibur.

Teman saya ini adalah seorang lelaki yang usianya sudah termasuk dewasa. Rambutnya hampir sebahu dan mempunyai selera musik dengan genre britpop, seatle sound, bahkan kadang dia menikmati juga hardcore.

Namun saat menonton sinetron lepas, dia bisa terbawa suasana. Suatu waktu, saya melihat matanya berkaca-kaca saat ada adegan tentang hubungan kakak-adik yang berkonflik gara-gara seorang pria.

Suatu kali dia pun berkata, "Iri lihat adegan sinetron." Namun, dia juga menyadari jika sinetron tersebut bukanlah realitas. Hanya adegan-adegan untuk menghibur.

Bagi saya, dunia dalam kotak itu tak jauh beda dengan apa yang dianggap nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ambil contoh 'drama' reshuffle kabinet yang ramai beberapa waktu lalu. Juga permasalahan politik atau hukum yang bak sinetron dengan para pemain yang tak kalah 'hebat' dengan aktor dan aktris di ftv.

Saya (merasa) hidup di dunia hiperrealitas. Dunia seperti yang dikatakan seorang sosiolog Prancis, Jean Baudrillard. Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran.

Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu. (http://aprillins.com/2009/577/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas/)
**

Dalam sebuah katalog pamerannya di Stockholm tahun 1968, Andy Warhol meramal, suatu saat siapa pun bisa terkenal dalam jangka 15 menit. "In the future everyone will be world-famous for 15 minutes."

Saya tak mengerti bahasa Inggris, jadi saya bisa salah mengartikan dan memahami apa yang ditulis Warhol kendati sudah menjadi kutipan yang terkenal. Saya hanya memahami jika saat ini siapa pun bisa terkenal hanya dengan tampil kurang dari 15 menit.

Sinta dan Jojo tiba-tiba terkenal, kemudian Norman Kamaru, polisi berpangkat Brigadir Satu menyusul ketenaran dua gadis tersebut. Baru-baru ini, seorang penyanyai dangdut, Ayu Tingting 'booming' dengan alamat palsunya.

Kadang saya merasa, sepertinya kita berlebihan dalam mengonsumsi 'kebudayaan' tersebut. Masih mengutip dari http://aprillins.com/2009/577/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas/, "Kebanyakan dari masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda."

Ah, jarak antara fakta dan informasi memang samar.
**

Bagaimana kabar Sophie Amundsen setelah keluar dari dunia cerita Jostein Gaarder, ya?
***

.:: Tol Cipularang, 10.25.2011 ::.


*Foto diambil dari http://englishrussia.com/2007/09/06/old-soviet-tv-sets/

Mang Ahum

Setiap ke Leles, saya selalu berharap dapat merasakan mie ayam Mang Ahum. Namun, keinginan sederhana tersebut selalu menjadi terasa mewah. Waktu yang tidak pas atau keinginan lain selalu membenturnya. 

Kesempatan merasakan mie ayam Mang Ahum akhirnya tiba tak sengaja di Kamis siang itu. Saat saya berputar di SPBU, Mang Ahum baru saja keluar dari SMA dimana dulu saya bersekolah. Tampaknya jam istirahat sudah lama usai, dia beranjak menuju Alun-alun Leles. 

Mie ayam yang dijualnya tak jauh berbeda saat dulu biasa membelinya. Kuahnya masih kental bercampur sawi dan sedikit ayam. Rasa mienya juga tak jauh beda; masih juga tercium terigu yang belum masak betul. Namun, harganya pasti berubah. 

Dulu, belasan tahun yang lalu, seingat saya harganya Rp 1.500 atau Rp 2.000 per mangkuk. Setelah hampir 12 tahun naik menjadi Rp 4.000. Kendati berubah, harga mie ayamnya masih cukup murah bukan? 

Dan, perubahan adalah keniscayaan. Pun bagi Mang Ahum yang bisa menebak kalau saya alumni SMA dimana dia biasa mangkal. Belasan tahun lalu, dia mengaku dapat dengan mudah menjual 150 mangkuk mie ayam dalam waktu 20 menit saat siswa istirahat. 

"Saya kadang bisa langsung pulang karena dagangan sudah habis. Atau paling tidak, tunggu pulang sekolah lalu jualan sebentar di Alun-alun untuk penghabisanya," ujar pria berbadan kurus ini di siang hari yang tak terlalu panas itu. 

Ingatan saya pun kembali saat masih memakai seragam putih abu. Saat waktu istirahat tiba, puluhan orang langsung menyerbu gerobak Mang Ahum. Dia pun sudah menyiapkan mangkuk-mangkuk yang telah berisi bumbu dan tinggal diberi mie, ayam dan kuah. Tak sedikit dari kami, setelah makan langsung ke kelas dan tak membayar. 

"Tapi itu tak bikin rugi karena saat itu banyak pembelinya. Paling juga 'hilang' lima mangkuk," kata Mang Ahum sambil sedikit menyunggingkan senyum sehingga kumisnya yang tak rapi sedikit bergerak. 

Namun ada saatnya, dia rugi lantaran banyak yang tak bayar. Mang Ahum mengaku sampai berhenti berdagang selama lima atau enam bulan. "Itu terjadi tahun 2003. Setelah berhenti, ya, jualan lagi," imbuh dia. 

Namun, kini semuanya berubah. Terjual 30 mangkuk saja di sekolah yang terletak hampir di perbatasan Kecamatan Leles dan Kecamatan Kadungora tersebut, Mang Ahum sudah merasa beruntung. Dan, ditambah berjualan di Alun-alun Leles, paling tinggi dia bisa menjual mie ayam sebanyak 80 mangkuk. 

Dia pun mengurai beberapa alasan penurunan angka penjualan daganganya. "Sekarang itu banyak sekali yang jualan. Dulu di sini hanya ada mie ayam, baso tahu, batagor dan cendol," kata pria bekulit gelap ini sambil sesekali matanya menatap halaman sekolah. 

Banyak siswa yang memakai kendaraan roda dua pun menjadi alasan. Lho, kok, bisa? "Pulang sekolah mereka langsung pulang karena pakai motor. Tak ada menunggu angkot, jadi jarang juga yang jajan lagi di sini," tambah Mang Ahum menjelaskan. 

Dia mengarahkan telunjuknya ke arah puluhan sepeda motor yang berjejer di pinggir lapangan basket dan pinggiran beberapa kelas. "Lihatlah. Dulu, ingat kan motor-motor yang parkir tak sebanyak ini. Paling juga hanya beberapa saja dekat kelas itu," imbuh dia. 

Mang Ahum pun menambahkan, para siswa yang jajan mie ayamnya di Alun-alun Leles pun sangat jarang. Namun demikian, pria ini mengaku tak ada pilihan lain, selain tetap berjualan mie ayam. Pekerjaan yang telah digelutinya belas tahun. 

Perbincangan kami berlangsung beberapa menit saja. Selesai bayar mie ayam yang telah saya makan, dia pun melanjutkan jualanya. "Ke alun-alun dulu," ucapnya.

.:: Bali geusan ngajadi, 20.10.2011 ::.

Selasa, 30 Agustus 2011

Tunggu Hasil Itsbat dan Popular Religius

"Saya akan menunggu hasil Sidang Isbath." Demikian jawaban saya, ketika seorang teman bertanya apakah saya akan merayakan Lebaran pada Selasa (30/8/2011) atau Rabu (31/8/2011).

Saya percaya orang-orang yang bersidang Senin (29/8/2011) lebih paham menetukan kapan tanggal 1 Syawal. Jika pun perhitungan mereka tidak tepat, saya sebagai bagian umat tidak bersalah. 'Mereka yang bertanggungjawab, umat tidak bersalah.'

Yang pasti saat saya menulis nota ini, Senin (29/8/2011) sekitar pukul 14.10 wita, Ramadhan 1432 hijriyah akan segera berakhir; entah dalam hitungan jam atau satu hari lagi. InsyaAllah ada kerinduan untuk bertemu kembali bulan ini dan ada penyesesalan karena bulan yang agung ini tidak bisa saya manfaatkan dengan baik.

Satu hal lagi yang tersisa pada Ramadhan tahun ini adalah percakapan saya dengan seorang teman tentang semakin banyak pemuka agama yang tampil bak selebritas. Bahkan berita hiburan atau infoteinment pun isinya bukan lagi artis tapi para pemuka agama.

Mereka tampil lebih 'ngepop', kadang dengan hingar bingar musik popular dalam sebuah pertunjukkan. Popular Religius, kata teman saya, Priska Siagian. Hahaha.... Bagus juga istilahnya; 'popular religius'.

Entah, para penonton show itu lebih tertarik menyaksikan artis beraksi atau mendengarkan tausyiah sang ustadz. Sepertinya penceramah agama saat ini harus memiliki kemampuan entertain karena bagian dari dunia pertunjukkan.

Tapi sebagian masyarakat menganggap tak lucu juga ketika para penceramah agama tersebut sudah seperti pelawak. Seperti saat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur beberapa mata acara beberapa waktu.

Pada kesempatan itu, lembaga ini juga menyatakan banyak keluhan masyarakat yang masuk terkait lawakan para ustadz di televisi. Hayo, kena....

Ya, setelah beberapa Ramadhan tahun terakhir dipenuhi dengan musik-musik dari 'surga' yang lirik lagunya tentang 'ketuhanan' sekarang saya akan lebih banyak menyaksikan 'hiburan' dari para penceramah. Mudah-mudahan hati saya yang paling tidak suka mendengarkan nasihat dari penceramah agama menjadi luluh dengan gaya entertain mereka.

Selamat merayakan Idul Fitri 1432 hijriyah. Mohon maaf lahir dan batin dengan sepenuh hati karena hati tidak bisa dibohongi atau dipalsukan. Semoga Tuhan menerima amalku dan amal kalian. Semoga kita bisa bertemu kembali dengan Ramadhan. Amin.

.:: Kotabangon, Kotamobagu 29 Agustus 2011/ 29 Ramadhan 1432 H ::.

Urang Masih Katinggaleun

HATE urang Garut pasti ngahareneg lamun ras ka lemah caina anu masih asup daerah katinggaleun ku daerah-daerah laina di Indonesia. Bayangkeun, Garut ngarupakan hiji di antara 183 daerah 'tertinggal' di Indonesia. Di Jawa Barat, jeuk Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) RI ngan nyesa Garut jeung Sukabumi nu masih kaasup kategori daerah 'tertinggal'.

Mun ningali potensi jeung kakayaan alamna mah, saha nu nyangka hal eta bisa karandapan ku Garut. Tapi kanyataanana,-suka teu suka-, PDT RI geus netepkeun daerah urang masih 'tertinggal' ti daerah liana. Eta cenah mun ditilik ti perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kamampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas jeung karakteristik daerah, sarta letak geografis daerah rawan bencana.


Dikutip ti PR Online tanggal 17 Maret 2010, Kamenterian PDT nyatakeun, kurangna tingkat kamampuan ekonomi masyarakat jeung dampak nu ditimbulkeun kusabab bencana alam di Kabupaten Garut micu ningkatna jumlah warga miskin.


Data nu dikaluarkeun BPS taun 2009, nyebutkeun persentase rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Garut 221.010 rumah tangga sasaran (RTS) atwa 35,86 persen ti total 619.407 rumah tangga. Angka rumah tangga nu ngadeukeutan kamiskinan dominan, 108.309 RTS atawa 17,49 persen, sedengkeun RTM nepi 18,19 persen.


Eta data-data memang geus ampir dua tahun kaliwat. Tangtu aya parubahan. Hanjakal kuring can meunang data nu pang ahirna. Tapi, rarasaan mah data eta masih bisa ngagambarkan, gening mun tina jumlah RTM jeung nu nagdeukeutan kamiskinan masih loba pisan.


Kapikiran tulas tulis ieu kabeneran sanggeus babaturan kuring, Sukma, ngasupkeun akun pesbuk kuring ka grup Garut Jaya. Tah, kebeneran Jumat (26/8/2011) sore, kuring maca berita online ti tribunnews.com anu judulna "Tak Lama Lagi Garut Lepas Sebagai Daerah Tertinggal." Jadi asa klop.


Kumaha atuh ketak urang sarerea sangkan bisa nanjeurkeun Garut nepi ka jaya. Tulisan ieu mah ngan saukur 'triger' wungkul ngaliwatan grup ieu. Da dina tulisan ieu ge taya solusi nu ditawarkeun (hehe, gagaro teu ateul). Jadi mangga ka dulur-dulur urang pikiran carana sangkan bisa diprakeun. Aya ide?


.:: Kotamobagu, 27 Agustus 2011/ 27 Ramadhan 1432 H, bari nunggu waktu sahur ::.

Rabu, 06 Juli 2011

Pesta

Seharusnya saat ini menjadi waktu yang menyenangkan bagiku. Ini pesta perkawinan anak perempuanku yang bungsu. Lihatlah dia begitu cantik dengan manik-manik keemasan di baju pengantinya. Riasan wajah dan rambutnya pun tampak bersinar kekuningan diterpa lampu dalam gedung. Namun aku tak bisa menikmati pesta ini.

Bukan karena takut makanan tak cukup bagi ratusan undangan yang datang malam ini. Toh, aneka makanan telah terhidang di meja-meja yang telah disiapkan. Bahkan, mungkin sebagian akan terbuang atau dibawa pulang oleh sebagian tamu yang datang malam ini.

Bukan pula masalah sewa gedung yang cukup mahal. Anak lelakiku sudah membayar lunas sewa gedung beberapa hari sebelum resepsi perkawinan ini. Sebagai kakak tertua, dia ikut menyiapkan semua tetek bengek pesta ini. Beruntung anak lelakiku kenal beberapa orang berkuasa di daerah ini sehingga segala keperluan bisa teratasi.

Ketidaknikmatan pesta itu bukan pula karena menantu baruku. Kendati dia tak mempunyai modal yang cukup untuk mengawini anak perempuanku, aku bisa menerima pemuda itu menjadi bagian dalam keluargaku. Rasanya dia bisa menjadi suami yang baik. Mungkin.

Awalnya, aku merasa senang saat melihat sanak saudara keluargaku dan keluarga menantuku berdatangan satu per satu atau berkelompok. Mereka langsung duduk di kursi-kursi plastik yang telah disusun rapi, namun membiarkan deretan kursi paling depan kosong. Ya, kursi-kursi yang diselubungi kain dan tampak lebih nyaman itu diperuntukkan untuk para pejabat dan pimpinan di daerah ini.

Entah kenapa segelintir orang tersebut akhir-akhir ini sangat suka mendatangi pesta. Eh, bukan hanya pesta, tapi juga upacara pemakaman. Pokoknya mereka selalu mendatangi setiap acara yang diadakan warga. Mereka menjadi sangat peduli.

Satu yang pasti di setiap pesta, para petinggi terutama dua orang yang berkuasa kota kecil ini selalu menyanyi. Bahkan, ada yang membawa pemain musik sendiri kemana pun dia pergi. Sang pemimpin telah menyediakan pekerjaan, walaupun hanya bagi satu orang.

Menurut kabar yang sering aku dengar, pemimpin dan wakilnya sering sekali berebut untuk datang ke sebuah pesta untuk bernyanyi. Trik dan strategi dimainkan agar bisa menyanyi. Alhasil, kalau satu hadir dalam satu pesta, yang lainya tidak akan muncul pada pesta itu. Ah, tidak cukup hanya pemimpin besar saja yang menjadi penyanyi.

Tiba saat para pejabat muncul disusul dua orang penting itu. Perasaanku mulai tak nyaman. Suasana pesta sudah hilang sama sekali. Aku melihat ke deretan undangan di belakang mereka. Tanpa pejabat cukup bagiku membuat pesta ini meriah. Tapi kalau dipikir-pikir, kalau tanpa mereka, pesta ini menjadi biasa. Dan, aku dianggap biasa pula.

Sang pemimpin yang tak kupilih itu mendapat kesempatan memberikan pidato pengantar pesta. Dia sangat hati-hati berbicara namun tampak ingin segera meninggalkan pesta anakku. Bahkan, dia tidak bernyanyi saat itu kendati pemain musiknya telah naik ke panggung. Dia langsung pergi setelah berpidato.

Namun ketidaknyamananku terus berlanjut, ketika para pejabat nyanyi-nyanyi. Dan tiga jam masa sewa gedung itu habis. Setelah terasa lama sebelumnya menunggu usai mereka menyanyi, pesta ini jadi cepat berlalu. Mungkin, begitu cepat pula bagi mereka, waktu dua tahun agar dipilih menjadi pemimpin di kota kecil ini.

Anakku, selamat menikmati perkawinan ini hingga kau dan suamimu tutup usia. Itu doaku.

.:: Kotabangun, 6.7.2011 ::.