Rabu, 13 Februari 2013

Ma Idah

Ma Idah
PEREMPUAN renta itu bernama Ma Idah. Dia mengaku sudah berumur 90 tahun, namun jika ditilik dari fisik perempuan itu terlihat seperti masih berusia 60 atau 70-an tahun. Namun yang pasti giginya sudah hampir ompong semua dan kerutan di wajah sudah tampak jelas.

Saya berjumpa dengan Ma Idah di Puncak Gunung Jaya Giri, Lembang, Jawa Barat, saat berkesempatan mengikuti off road dari kantor. Saat itu, panitia memberikan kesempatan para peserta untuk beristirahan dan melaksanakan salat Jumat di puncak Jaya Giri.

Ma Idah hidup sendirian di puncak itu setelah suaminya meninggal beberapa tahun silam. Hanya ada satu rumah di daerah tersebut. Tetangga dia terdekat hanyalah peternakan kuda. Sementara rumah-rumah lainya, jaraknya berkilo-kilometer. Bahkan aliran listrik pun tak ada. Namun demikian, dia tak memperdulikan keadaan tersebut.

"Ya, kalau ada keperluan apa-apa, tinggal jalan kaki terus nanti naik ojek," kata Ma Idah sambil duduk bersila di pintu rumah panggungnya yang dinding berbilik bambu.

Dia mengaku tidak takut hidup sendirian di daerah itu. Hanya radio tua yang menemaninya. Bahkan, saat Gunung Tangkuban Parahu yang jaraknya dekat bergejolak beberapa waktu lalu, dia 'keukeuh' tak beranjak. "Semua datang ke sini; camat, danramil, minta pindah. Tapi, saya tak mau pergi," kata Ma Idah.

Warung kecil menjadi tumpuan untuk menopang hidupnya. Hanya tampak botol-botol air mineral saja yang dijualnya. Namun dia seakan tak peduli dengan keadaan tersebut. Dia mengenang beberapa tahun lalu, puncak Jaya Giri itu begitu terkenal. Banyak yang menggunakan tempat itu untuk berkemah. Alhasil, warungnya pun yang memang hanya satu-satunya di daerah tersebut sangat ramai.

Namun, hal tersebut kini berubah. Semakin jarang yang datang berkunjung atau berkemah di tempat yang bisa melihat saujana Lembang tersebut. Lalu, apa yang membuatnya bertahan? "Jaga cai (menjaga air)," kata dia singkat. Entah apa yang dimaksud dengan menjaga air tersebut.

Menurut Kang Ojos, dari Wanadri, Puncak Jaya Giri, menjadi tempat favorit dikunjungi pada sekitar dekade 80 dan 90an. Dia juga tidak tahu mengapa sekarang tempat tersebut berkurang daya tariknya. Kang Ojos mengatakan keasrian Puncak Jaya Giri semakin berkurang.

"Banyak tempat-tempat yang dibabat hanya untuk jalan. Memakai sepeda motor pun bisa sampai sini," kata dia.

Kisah Lima Monyet dan Keteguhan Seorang Ayah

KEYAKINAN dan passion atau gairah untuk menikmati dan memaknai sebuah tujuan menjadi tangga agar mencapai tujuan. Demikian CEO Kelompok Kompas Gramedia (KKG) Agung Adiprasetyo saat memberikan motivasi kepada 115 The Best Employees dari 25 unit usaha di kelompok tersebut di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (5/2/2013) malam.

Agung kemudian mengisahkan dua cerita inspiratif pada malam anugerah itu. Cerita pertama tentang penelitian tingkah laku monyet di sebuah universitas di Amerika Serikat. Dua ekor monyet dimasukkan dalam kerangkeng yang di atasnya terdapat pisang. Setiap kali monyet berusaha meraih pisang, sang Profesor yang melakukan penelitian selalu menghalanginya dengan menyemprotkan air.

Akhirnya dua monyet tersebut berhenti berusaha untuk mendapatkan pisang. Monyet ketiga kemudian dimasukkan dalam kandang. Monyet ini kembali berusaha untuk mendapatkan pisang. Sang profesor tak perlu menyemprotkan air, monyet ke satu dan ke dua langsung menghalangi monyet ke tiga untuk mendaptkanya. Dan, monyet ketiga pun manut.

Peneliti kemudian memasukkan monyet ke empat dan ke lima dimasukkan setelah terlebih dahulu mengeluarkan monyet ke satu dan ke dua. Monyet ke tiga kemudian memberikan pesan agar monyet ke empat dan ke lima tidak mengambil pisang. Monyet ke empat menurut, sementara monyet ke lima tak ambil pusing dengan pesan monyet ke tiga. Akhirnya, justru monyet ke lima yang mendapatkan pisang.

"Hidup itu pilihan. Ada banyak orang menjadi monyet ke tiga atau memilih menjadi ke empat atau juga ke lima," kata Agung seraya mencontohkan Bill Gates yang mempunya keyakinan dan passion sehingga bisa menjadi orang seperti sekarang.

Cerita ke dua masih tentang keyakinan dan passion, namun penuh dengan emosi yang kuat. Dikisahkan, seorang Ayah di Armenia selalu mengantar anaknya setiap pagi ke sekolah. Di depan gerbang sekolah, sebelum anaknya masuk kelas, sang Ayah selalu berkata, "Aku akan selalu bersamamu, nak."

Sampai suatu hari di penghujung tahun 1998, Armenia diguncang gempa. Sekolah tempat si anak pun hancur luluh. Sang Ayah langsung ke sekolah. Dia mulai mencari anaknya dari reruntuhan saat orang lain menganggap semuanya sudah 'selesai'. Semua orang diam dan tidak melakukan apa-apa. Pasrah. Namun tidak dengan si Ayah satu ini.

Dia terus mencari dan mencari. Sampai 18 jam kemudian, dia melihat tangan yang melambai ke atas dari reruntuhanya. Dan, lambaian tangan itu adalah tangan anaknya. Kegigihan sang Ayah tidak hanya menyelamatkan anaknya, tapi juga 14 anak lainya bisa terselamatkan.
Pada malam penganugerahan bagi para pegawai tersebut, panitia juga mengundang pengusaha muda sukses Sandi Uno. Tokoh muda ini menceritakan bagaimana dirinya bisa menjadi seorang pengusaha setelah dipecat dari perusahaan di tahun 1997 karena terjadi krisis ekonomi.

Menurut Sandi, ada empat as untuk meraih kesuksesan, yakni kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas. "Kerja ikhlas ini yang sulit manakal kita sudah memberikan yang terbaik namun hasilnya tidak sesuai harapan. Namun yakinlah, rezeki selalu datang pada yang menjemputnya," kata dia.

Sandi juga memberikan konsepsi yang berbeda tentang entrepreneur. Menurutnya jiwa entrepreneur bisa dimana saja. Di pemerintahan atau di perusahaan pun orang bisa menjadi entrepreneur dengan pola pikir tetap inovatif, kreatif, optimistis dan memandang positif tentang semua hal. "Entrepreneur bukan profesi. Tidak semua harus keluar menadi pengusaha," kata Sandi.

Stiker dan Bentor

BUNDARAN yang berada di pusat kota itu sudah hiruk dengan puluhan orang yang berdemonstrasi menuntut pembentukan provinsi baru siang itu. Namun hajat yang memberat membuat saya tak terlalu memperdulikan aksi itu.  Saya cegat bentor dan mengarahkan tujuan ke kampus terdekat. Bukan untuk kegiatan akademis,  tapi cari toilet untuk buang hajat.

Dinding kaca kanan dan kiri bentor yang saya naiki ternyata bersih dari stiker orang-orang yang berpose tersenyum. Padahal biasanya foto-foto orang tak fotogenik namun tampil percaya diri itu menghiasi kaca-kaca bentor. Bahkan, tak jarang menempelkan pesan-pesan yang seolah-olah dirinya hebat.

Saya pun iseng bertanya kepada sopir bentor. "Tak pasang stiker, pak?  Biasanya di bentor-bentor ramai pasang stiker," kata saya mencoba membuka percakapan dengan sopir bentor yang saya perkirakan sudah memasuki usia 50an awal itu.

"Saya tidak pasang," ujar sopir bentor  itu. Dia sempat melirik kepada saya kemudian matanya kembali fokus melihat jalan. "Buat apa juga kendati kalau pasang dapat Rp 50 ribu. Kalau pasang seolah membohongi diri sendiri karena bisa jadi saya tidak memilih dia saat pemungutan wali kota nanti."

Namun demikian, sopir bentor yang hampir semua giginya ompong ini mengungkapkan perkiraan politiknya. "Saya tak yakin wali kota sekarang dapat terpilih kembali. Di awal-awal saja sudah mengecewakan.  Dia berniat menghapus bentor. Untung hal tersebut tak jadi," kata dia.

Tak terasa, kami sudah sampai di depan kampus yang saya tuju. Namun perbincangan kami belum usai. Ternyata, bentor yang saya tumpangi tak bersih juga dari stiker politik. Sopir bentor itu menunjukkan stiker yang berada badan rangka bentor, tepatnya di atas ban bentor.

"Ini saya pasang karena ada yang datang ke rumah membawa segala macam kebutuhan rumah tangga saat itu. Kemudian dia memberikan ini," kata dia menunjukkan stiker yang berisi tulisan nama seorang anggota DPR RI.

Perbincangan kami akhirnya benar-benar terhenti. Sopir bentor itu kemudian kembali berbalik arah, sementara saya masuk ke kampus sambil celingukan cari jamban. Namun sampai di pintu memasuki areal kampus, perut berhenti bergelora. Saya pun urung buang hajat.

Saya kembali cegat bentor. Kali ini tujuan saya ke bundaran di mana para penuntut pembentukan provinsi berada. Saya kembali dapatkan bentor yang bersih dari stiker politik.  Kali ini, saya dapati sopir bentor yang tambun dan bertato di bagian lenganya. Oh, iya, kepalanya botak.

Dengan sedikit rasa 'jiper', saya pun menanyakan apakah dirinya tertarik memasang stiker politik. "Saya tidak tertarik untuk memasang stiker demi uang Rp 50 ribu," kata dia dengan nada yang tegas.

Bahkan dia mengatakan dengan nada sangat yakin untuk menjadi golongan putih atau golput alias tidak memilih pada pemilihan wali kota nanti. "Saya tidak akan memilih. Buat apa, saya rasa tidak ada gunanya," kata dia mengungkapkan pilihan politiknya.