Sabtu, 31 Desember 2016

Tar Ter Tor

"every year is getting shorter, never seem to find the time."
                                                                                                  Time
                                         Pink Floyd

foto: roeder-feuerwerk.de
SENIN, 31 Desember 2012, asap mengepul memenuhi halaman belakang sebuah rumah di Sinindian, Kotamobagu. Puluhan ruas bambu berukuran sekitar 70 cm dipasang berjejer di atas pembakaran. 

Sejumlah orang tak peduli dengan kepulan asap berusaha menjaga beras ketan dalam ruas bambu supaya masak dengan sempurna sehingga menjadi 'nasi jaha' atau 'binarundak' yang nikmat.

Tar, ter, tor, suara petasan terdengar sejak sore bersahutan dari segala arah. Sesekali terdengar juga suara terompet kendati waktu pergantian tahun masih beberapa jam lagi. 

Beberapa pemuda yang sedang mempersiapkan di belakang rumah dekat warung kopi tersebut rupanya tak mau kalah. Mereka pun mulai menyalakan kembang api dan petasan kendati malam belum pekat.

Ustaz yang rumahnya dekat dengan 'dapur umum' tersebut rupanya mulai terganggu dengan suara letusan yang bersahutan. Dia pun menutup pintu depan rumahnya yang sebelumnya terbuka. 

Tiba saat sang Anak Ustaz keluar dari rumah bersama pacarnya, Ustaz yang bertubuh tambun dan berkacamata tersebut sempat mengajak berbincang sesaat akan menutup pintu kembali rumahnya.

"Kiamat tidak jadi kan, mas," kata dia kepada saya sambil memegang daun pintu. Saya sempat tertegun sejenak dan tidak langsung membalas perkataanya. 

"Tidak ada yang tahu kapan itu kiamat," kata dia seraya mengutip sebuah hadis. Sambil menutup pintu dia menuntaskan perkataanya, "Bisa-bisanya tertipu dengan segala macam ramalan."

Di balik kaca depan yang transparan depan rumahnya, saya sempat mencuri lihat sang Ustaz. Dia duduk di kursi plastik dan sibuk menggoreskan tulisan di sebuah kertas di atas meja. 

Entah apa yang dia tuliskan dan itu bukan urusan saya juga. Saya kembali menenggelamkan diri dengan Pink Floyd, Bjork, Thom Yorke, kadang Royksopp dari Youtube.

Konsentrasi saya dari layar komputer jinjing teralih saat seorang anak masih belasan membawa satu kardus bertuliskan yang merk bir lokal, Valentin. 

Kemudian seorang pria yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua umurnya dari ABG tersebut membawa kardus yang sama. Bedanya, dia membawa satu dus minuman suplemen yang saya duga akan menjadi campuran bir tersebut.   

Malam ini tahun akan berganti...

*Ya, empat tahun lalu di warung kopi Sinindian.

Kamis, 29 Desember 2016

Teperdaya

SUATU hari sakadang Monyet mengajak sakadang Kuya mencuri cabai milik pak Tani. 


Kuya awalnya menolak. Bukan  alasan moral ia tak mau mencuri. Toh, menikmati pedas cabai pak Tani adalah surga juga.

Sakadang Monyet suka berisik saat mencuri. Itu dia  alasannya!

Setelah mati-matian berjanji tak akan akan gaduh,  sakadang Monyet berhasil mengajak  si Kuya menjadi partner in crime. Kejahatan cetek, tapi sungguh-sungguh.

Saat matahari condong ke barat, mereka sudah berada di kebun pak Tani.

Benar saja perkiraan sakadang Kuya, sakadang Monyet yang kepedasan makan cabai tak bisa lagi mengontrol diri. Sang Monyet malah mengeluh,- mungkin  melenguh.

Sambil mengunyah, mulutnya berkata berulang-ulang: "Seuhah,  lata-lata!"

Sang  Kuya beberapa kali mengingatkan agar Monyet tak gaduh.  Dia takut pak  Tani menjadi awas dengan suara sakadang Monyet. Namun apa daya, temannya  tak bisa lagi menahan rasa pedas yang menyengat lidah.

Kekhawatiran sakadang Kuya jadi kenyataan. Pak Tani datang. Sakadang Monyet langsung  lari meninggalkan sakadang Kuya yang tak bisa kabur. Si Kuya mah  jalanya saja ngadedod. Mana bisa kabur kalau lambat mah.

"Beunang siah...!" Pak Tani berseru sambil memegang sakadang Kuya.

Di sisa tenaganya, sakadang Kuya berusaha lepas. Namun, upaya dia sia-sia.

Pak  Tani membawa sakadang Kuya ke rumahnya. Dia kemudian mengurung sakadang  Kuya dalam kurungan ayam. Harapan sakadang Kuya untuk kabur kian pupus.

"Besok, kita sembelih kura-kura itu," ujar pak Tani kepada anaknya.

***

DI luar sudah gelap. Sakadang Kuya hanya bisa tafakur dalam kurungan ayam pak Tani. tak ada lagi harapan.

Di puncak keputusasaan, dia mendapatkan kepasrahan. Bila maut sudah tiba, siapalah yang berkuasa selain pemilik kehidupan.

Saat kesadaran mulai memasuki mimpi, sakadang Kuya mendengar suara desisan.  Bukan dari sakadang ular yang tak pernah karib dengannya. Desisan itu  sangat akrab di telinga dia.

Ketika matanya betul-betul terbuka,  ia bersitatap dengan dua bola yang cemerlang. Itu adalah mata  sahabatnya, sakadang Monyet yang meninggalkan ia dari sergapan pak Tani.

Amarah  kembali berkobar dalam hati sakadang Kuya. Namun air mukanya tetap  menunjukkan ketenangan. Seperti air sungai yang mengalir tenang.

"Ssst...,  sakadang Kuya, bagaimana kabarmu?" Sakadang Monyet bertanya. Nada  suaranya bergetar, entah karena kedinginan atau ketakutan.

"Alhamdulillah, baik. menyenangkan  malah," sakadang Kuya menjawab penuh keriangan.

Sakadang  Monyet kaget. Bagaimana mungkin berada dalam kurungan, temannya masih  bisa sesenang seperti saat melihat ranumnya cabai di kebun pak Tani tadi  siang.

Rasa penasaran sakadang Monyet terbalaskan saat si teman  yang 'lambat' mengisahkan kegembiraanya. Ada berkah tersembunyi dari  penangkapannya, kata sakadang Kuya.

"Sudah lama pak Tani mencari calon mantu. Besok aku akan dikawinkan dengan anak perempuan pak Tani. Siapa yang tak senang."

Sakadang Monyet menukas, "Amboi, beruntungnya temanku! Seandainya aku berada di posisimu."

"Aku tak sesenang yang kau kira. Aku pikir ada yang lebih pantas mendapatkan si gadis."

"Siapa dia, temanku?" sakadang Monyet langsung bertanya penuh penasaran.

Beberapa  saat sepi, hanya tarikan napas sakadang kuya yang terdengar  lapat-lapat. Kepala sakadang Monyet kian mendekat ke kurungan. Tanganya  kemudian memegang kurungan, sementara pupil matanya kian membesar.

"Aku rasa yang lebih pantas bersanding dengan anak pak Tani adalah kamu. Tapi, apakah kamu mau?"

"Bodoh,  tentu saja aku mau. Tapi kamu benar-benar rela melepaskan kesempatan  ini? Bukankah kesempatan itu mahal, dan kamu mau melepaskan kemewahan  itu?" kata sakadang Monyet.

"Dari sisi apa pun kamu yang lebih  pantas. tak hanya rupamu, kemampuanmu akan mampu memesona bahkan bagi  calon mertuamu yang galak itu," si kuya menukas.

"Ok, kalau begitu. Sebaiknya kita tukaran. Aku akan masuk dalam kurungan itu," ujar sakadang Monyet.

"Namun, ada syarat. Sebelum kamu masuk kurungan ini, lemparkan aku ke sungai," kata Kuya.

Dua  sahabat itu mencapai kesepakatan. Setelah melempar Kuya ke sungai,  sakadang Monyet dengan hati berbunga-bunga masuk kurungan. Tak lama,  tengkuran terdengar kemudian.

Sinar matahari membangunkan  sakadang monyet. Matanya terbuka perlahan, sementara mulutnya bersiul.  Telinganya mendengar suara keramaian dari rumah pak Tani.

"Dimana  golok, bapak? Apa kamu sudah asah baik-baik, biar penyembelihan kuya  itu cepat." Suara pak tani terdengar jelas sampai tempat kurungan.

"Waduh...!" Hati monyet mengaduh.

***

IA yang biasa telanjang kini mengenakan beledu. Manik-manik keemasan  tersemat menambah anggun pakaian sakadang monyet hari itu. Peci yang  kebesaran dan sepatu runcing yang tak pas di kaki tak ia pedulikan.

Bahagia  berada di pelaminan bersama anak pak Tani lebih penting bagi dia.  Nyengir. Bukan, bukan nyengir sebenarnya. Itu adalah senyuman yang  selalu disalahartikan. Tapi, sakadang Monyet tak ada waktu untuk  memperdulikan sangkaan.

Namun, kebahagiaan itu hilang saat  matahari membangunkannya. Baru saja kelopak matanya terbuka, sakadang  Monyet sudah mendengar pak tani akan menyembelih ia yang berada di  kurungan.

Sekali lagi, ia diperdaya temannya, sakadang Kuya.

Tak  ada waktu untuk menggerutu, tapi ia tak tahu apa yang harus lakukan. Ia  berputar-putar di dalam kurungan ayam itu. Suara langkah kaki di atas  pelupuh rumah pak Tani jelas terdengar. Gemeretaknya kian terasa dekat.

Akhirnya ia telentang. matanya mengatup. Ia tarik napas dalam-dalam. "Ya, aku harus pura-pura mati."

Napas yang ia hirup tak pernah lagi ia embuskan.

Pak  Tani yang membuka kurung kaget bukan main. "Sore kemarin rasanya aku  menangkap kura-kura. Kenapa dalam semalam sudah berubah jadi monyet.  Monyet mati lagi," pak Tani menggerutu dalam hatinya.

Pak Tani  kesal bukan main, sementara sakadang Monyet setengah mati menahan napas.  Dag, dig, dug. Waktu seakan berjalan lambat. Tangan pak Tani tiba-tiba  meraih kaki sakadang Monyet. Kemudian mengangkatnya.

Pusing  sekali saat pak tani memutar-mutar tubuhnya di udara. Setelah beberpa  putaran, ia merasa melayang.

Buk, ia terempas. Sakit, tapi sakit itu  yang membuat sakadang Monyet bisa bernapas bebas lagi. Ia langsung  berdiri dan lari pontang panting.

Lapat-lapat ia mendengar umpatan pak Tani. "Kurang ajar!"


Catatan: Cerita sakadang Kuya dan sakadang Monyet, beberapa kali saya dengar  waktu kecil. Kalau tidak salah, cerita ini ada dalam buku pejaran Basa Sunda. Namun di sini, saya sedikit ropea. Hormat  bagi pengarang cerita ini.

Palsu

MINGGU, 4 Desember 2016, Edgar M Welch memasuki restoran pizza di Washington DC dengan dua senjata di tangannya. Senjata ketiga kemudian ditemukan di mobilnya.

Pria berumur 28 tahun ini melepaskan tembakan di dalam restoran. Tak ada korban jiwa pada kejadian ini. 

Seorang pelayan yang sempat ditodong senjata berhasil melarikan dan melaporkan kejadian tersebut kepada polisi.

Welch, ayah dua anak ini berhasil diringkus. Terungkaplah motif pria yang datang dari North Carolina ini melakukan tindakan mengerikan itu.

Kepada polisi ia mengaku datang ke restoran pizza itu untuk menyelidiki dan menyelamatkan anak-anak yang disekap di restoran tersebut. 

Welch percaya dengan berita bahwa di restoran tersebut tempat pengelola jaringan seks anak- anak. Ia pun percaya dengan teori konspirasi yang menyebar di daring atau internet. 

Kenyataanya sangkaan Welch tak terbukti. Ia terjebak dengan berita palsu. Betapa menakutkannya dampak berita palsu. 

Bukan hanya Welch yang percaya dengan berita-berita palsu. Warga Amerika Serikat kerap terkecoh dengan berita-berita palsu. Setidaknya demikian hasil survei BuzzFeed bersama Ipsos.

Hasil survei yang dipublikasikan di BuzzFeed 7 Desember 2016 lalu menyebutkan 75 persen orang dewasa di AS percaya berita-beriat palsu itu akurat.

Kebanyakan responden dalam polling ini juga lebih suka mengambil sumber berita dari Facebook. Mereka justru tidak mengandalkan platform media berita.

Survei secara online atau dalam jaringan (daring) ini melibatkan 3.015 orang dewasa AS. Survei dilakukan antara 28 November dan 1 Desember.

Satu di antara hasil survei ini adalah, 23 persen responden mengambil sumber berita dari Facebook. Jumlah persentase tersebut hanya di bawah CNN (27 persen) dan Fox News (27).

Sebanyak 83 persen yang mengambil berita dari Facebook memercayai berita palsu yang mereka ambil tersebut akurat.

Pihak Facebook yang kerap menerima kritik untuk urusan pemberitaan palsu atau hoax pun gerah juga. Mereka merealisasikan janji memperbaiki aliran berita di linimasa. 

Fecebook melakukan beberapa langkah untuk memerangi berita palsu. Di antaranya, setiap artikel yang ada di linimasa Facebook kini dilengkapi dengan fitur pelaporan. 

Facebook bekerja sama dengan organisasi pihak ketiga untuk memperingati pengguna ketika hendak membagi berita-berita yang diperdebatkan.

Facebook juga memutus insentif untuk penyebar berita palsu. Situs hoax bukan semata-mata untuk menggiring opini publik, namun juga untuk mendapat keuntungan finansial.

Terakhir adalah memperbanyak penyebaran informasi yang benar. Ke depan juga, Facebook akan banyak menyebar berita yang  tak memicu kebencian.

Situasi tersebut menjadi cermin. Begitu banyak informasi yang bertebaran di daring. Terkadang begitu mudahnya kita percaya dengan berita-beita tersebut.

Sebelum terlanjur terjebak dalam kebencian tanpa alasan, setidaknya self censhorship harus kita terapkan. Saring sebelum sharing; menyaring berita atau informasi sebelum kita membagikannya.

Kritis terhadap sumber berita bukan dosa. Setidaknya kita berupaya mencari sumber yang sahih, sehingga kita tak mudah dipermainkan dalam dunia informasi yang begitu ramai. (*)