Senin, 19 Desember 2022

Muchachos

...

Muchachos, ahora nos volvimos a ilusionar/ Quiero ganar la tercera, quiero ser campeón mundial/ Y al Diego, desde el cielo lo podemos ver con Don Diego y con La Tota, alentándolo a Lionel/Interpretación de 'No sabemos todavía'//

MUCHACHOS mengingatkan tentang penderitaan Argentina, di sisi lain juga keinginan kuat untuk mendapatkan kebanggaan.

Lagu ini tak hanya tentang keinginan kuat untuk mendapatkan Piala Dunia untuk ketiga kalinya, termasuk luka bangsa Argentina.

Tentu, Diego Maradona dan Lionel Messi menjadi tokoh sentral dalam liriknya, tapi lagu ini memberi penghormatan kepada tentara Argentina yang bertempur dalam perang Falklands (Malvinas). 


Argentina kalah dari Inggris dalam perang singkat namun berdarah di kepulauan yang berada di Atlantik Selatan pada tahun 1982.

//En Argentina nací, tierra de Diego y Lionel/ de los pibes de Malvinas que jamás olvidaré/ No te lo puedo explicar/ porque no vas a entender/ ...

Namun lagu ini merupakan salah satu harapan agar Argentina, dengan bantuan Lionel Messi, dapat mengakhiri 36 tahun penantian kejayaan Piala Dunia. Dan, itu terjadi.

“Kami adalah negara yang terbiasa menderita, tetapi ketika kami menderita, kami mengeluarkan yang terbaik dari diri kami sendiri,” kata Alejandro Rubio (54) asal Argentina seperti dikutip dari AP.

“Jadi, di Piala Dunia ini, setelah sekian lama, kami akan melakukan yang terbaik. Ini akan menjadi Piala Dunia yang hebat.”

Fernando Romero mengadaptasi lagu lama band pop La Mosca untuk mendukung tim nasional. 

Dia terinspirasi setelah kematian Maradona dan kemenangan Argentina di Copa America melawan Brasil di Stadion Maracana di Rio de Janeiro.

“Saya merasa bahwa Diego bersama kami dan saya menyukai gagasan untuk memasukkannya ke dalam sebuah lagu yang dapat kami nyanyikan bersama,” kata Romero seperti dikutip dari AP. 

Argentina berduka atas meninggalnya kapten tim yang menjuarai Piala Dunia 1986 pada November 2020. Diego Maradona wafat di usia 60 tahun. 

Pada Juli 2021, Argentina yang dilatih oleh Lionel Scaloni dengan kapten Messi memenangkan Copa America untuk pertama kalinya setelah 28 tahun. 

Di salah satu bagian lagu, Romero menulis bahwa "dari langit kita bisa melihat Diego, bersama dengan Don Diego dan La Tota, mendukung Lionel, dan menjadi juara lagi ..."

Lagu tersebut menjadi sangat populer sehingga dinyanyikan oleh Messi, yang mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa itu adalah lagu fan favoritnya.

Setelah memenangkan trofi Piala Dunia untuk ketiga kalinya. lagu ini mungkin tidak relevan lagi. Tapi bagi Romero itu tidak masalah.

"Jika kami menang hari Minggu dan lagu itu tidak pernah dinyanyikan lagi setelah itu... saya tidak masalah," katanya. 

“Yang penting adalah menang pada hari Minggu, dan saya menjalaninya seperti orang Argentina mana pun, dengan banyak kecemasan, banyak harapan, dan banyak kepercayaan pada kelompok pemain yang kami tahu akan memberikan segalanya untuk mengibarkan bendera."|

Rabu, 19 Mei 2021

Apa Gunanya Kompetisi Tanpa Degradasi

MAHASISWA di University of Michigan, Amerika Serikat, kebingungan saat Stefan Szymanski, ekonom asal Inggris, menjelaskan tentang konsep promosi dan degradasi dalam kompetisi di liga-liga olahraga Eropa.

"Mereka bingung dan yakin (konsep) itu tidak akan berhasil di AS,” kata Szymanski, penulis buku Soccernomics, dikutip dari The Athletic.

Liga-liga top olahraga di AS memang tak mengenal konsep degradasi dan promosi. Lihat saja NBA (basket), NFL (football), NHL (hoki) , MLB (bisbol), bahkan MLS (sepakbola) sekalipun. Kompetisi berlangsung secara tertutup.

Mungkin kelihatan aneh, tapi begitulah adanya. Sistem tersebut memungkinkan secara bisnis berjalan lebih terkendali. Tengoklah bagaimana MLS yang digulir mulai 1996, pada 2018 berada di posisi 11 di antara liga-liga di dunia berdasarkan pendapatannya.

Sistem kompetisi tertutup inilah yang coba diadopsi oleh Liga Super Eropa (ESL). Dua belas tim pendiri dan tiga tim lainnya tidak akan terdegradasi dengan tambahan lima tim yang bisa berubah tiap tahunnya. Motifnya, tentu saja, uang.

Menurut Joel Glazer, pemilIk Manchester United yang juga wakil ketua ESL, proyek tersebut mewakili "babak baru untuk sepakbola Eropa." Penggemar sepakbola akan menyaksikan pertandingan klub-klub raksasa di Eropa secara reguler.

Tak kalah penting, pendapatan klub-klub tersebut lebih terjamin. Lembaga perbankan dan investasi, JP Morgan, akan menggelontorkan 4,8 miliar dolar untuk mendanai Liga Super. Setiap klub peserta setidaknya akan mendapatkan 350 juta euro.

Namun hanya dalam 48 jam babak baru ESL luluh lantak. Sebagian orang menyebut, ini adalah kemenangan penggemar sebagai simbol budaya sepakbola atas upaya kapitalis, yakni pemilik klub, untuk lebih banyak mereguk untung secara komersial.

Para penggemar terutama dari Inggris bereaksi keras. Mereka menolak amerikanisasi sistem kompetisi sepakbola Eropa. Bahkan, aksi penggemar Manchester United masih berlanjut. Mereka memang mempunyai hubungan buruk dengan Keluarga Glazer, pemilik klub itu.

Sebagian pendukung MU percaya, Glazer memberi dampak jelek terhadap klub. Keluarga itu hanya mencari keuntungan bukan prestasi. Fasilitas klub tak pernah diperbaiki, bahkan MU punya utang hampir 500 juta euro.

Penggemar sepakbola di Inggris tampaknya menaruh kecurigaan terhadap para pemilik klub asal AS. Bukan kebetulan dari enam tim asal Inggris yang bergabung dengan ESL (walaupun kemudian menyatakan mundur), tiga di antaranya adalah milik investor asal AS.

MU sudah jelas dimiliki oleh Keluarga Glazer. Kemudian ada Arsenal dan Liverpool. Stan Kronke melalui Kroenke Sports & Entertainment menguasai Arsenal, sementara Liverpool merupakan milik grup Fenway.

Apalagi kalau melihat struktur liga olahraga profesional di AS bersifat oligarki. Mengutip Washington Post, keuntungan dari kompetisi dibagi di antara kelompok mereka. Adapun tim yang berkompetisi tetap, tak peduli seberapa baik atau seberapa buruk mereka bermain.

Di sisi lain, kompetisi di liga-liga Eropa secara historis berdasarkan sistem piramida dengan adanya konsep degradasi dan promosi. Tingkat kompetitif tentu tinggi, begitu juga tatraktifnya. Namun secara finansial liga sepakbola ini jauh berisiko.

Sedangkan investor tentu saja mencari sistem dengan risiko terendah dan keuntungan finansial tertinggi. Tak aneh, jika mereka ingin mengurangi risiko investasi, satu di antaranya dengan menghapus sistem berbasis prestasi dan mencari cara untuk membatasi biaya.

Karenanya, wajar saja penggemar sepak bola di Eropa, terutama di Inggris, menolak keras gagasan Liga Super. ESL adalah hasil logis dari komersialisasi sepak bola yang terus meningkat. Kontrol seluruh aspek permainan dimonopoli segelintir orang kuat.

Lalu apa makna sepakbola sebagai permainan rakyat ketika kesenangan para penggemar bergeser kepada pendekatan untuk mencari keuntungan para kapitalis? Saat klub seperti waralaba dan dan penggemar sebagai pelanggan?

Identitas lokal yang kuat dan keterikatan pada tempat direduksi menjadi sekadar "narasi" pemasaran untuk memosisikan merek yang bersaing di pasar global logo dan warna tim.

Para penggemar klub-klub di Inggris sudah merasakan bagaimana komersialisasi berjalan bahkan sebelum ada rencana EPL. Liga Premier Inggris memang paling wahid dalam pengumpulan pundi-pundi keuntungan, namun penggemarnya bisa jadi iri dengan rekan mereka di Bundesliga Jerman

Fan sepakbola di Jerman bisa lebih murah mendapatkan tiket untuk klub favorit mereka. Belum lagi sistem kepemilikan klub 50+1 yang menjadi tameng kepentingan penggemar.

Penyelenggaraan Liga Super buyar, namun masih menyisakan perjuangan para penggemar klub sepakbola di Inggris, terutama MU, untuk mendapatkan hak kepemilikan.

Tak berselang lama dari drama ESL, di Indonesia muncul wacana Liga 1 tanpa degradasi untuk musim 2021/2022. Dampak pandemi Covid-19 jadi alasan. Klub-klub peserta Liga 1 pun terbelah pandangannya. Ada yang setuju, menolak, ada juga masih bingung

Tapi, rasanya bukan kompetisi bila tanpa ada konsep degradasi dan promosi.

Tentu hal berbeda bila tujuannya demi komersialisasi liga seperti layaknya sistem ini bekerja di MLS. Tak mengapa bila memang tujuan kompetisi hanya untuk mereguk keuntungan secara ekonomi dengan menyampingkan nostalgia pendukung tradisional. Namun bisakah demikian?

Bagi saya, yang lahir di Jawa Barat, Persib adalah bagian identitas saya. Ada rasa memiliki bukan sekadar menggemarinya

Lagian pula, bukan hal mudah menerapkan sistem kompetisi tertutup untuk mereguk keuntungan seperti liga sepakbola di AS berjalan. Ya karena perangkat dan kultur yang berbeda.

Tapi bila alasannya asal kompetisi bergulir juga buat apa?

Selasa, 04 Mei 2021

50 plus 1

sumber: the League
sumber: the League

RENCANA Liga Super Eropa (ESL) hancur diamuk penggemar sepak bola. Permintaan maaf pemilik klub, terutama di Inggris, tidak menyurutkan tudingan atas ketamakan mereka.

Buntut lain dari ‘bombshell’ itu adalah pembicaraan tentang model ideal kepemilikan sebuah klub sepak bola. Bundesliga pun dilirik jadi contoh. Tapi mungkinkah model kepemilikan klub di Liga Jerman itu bisa diterapkan di liga lain?

Dalam wawancara dengan SportBild beberapa tahun lalu, CEO Borussia Dortmund Hans-Joachim Watzke mengatakan tidak ingin melihat penggemar Jerman “diperah” untuk mendapatkan uang “seperti yang terjadi di Inggris.”

Menurut dia, penggemar sepak bola di Jerman secara tradisional memiliki hubungan yang erat dengan klubnya. “Dan jika dia (fan) merasa bahwa dia tidak lagi dianggap sebagai penggemar tetapi sebagai pelanggan, kami memiliki masalah,” kata Watzke, dikutip dari Budesliga.com.

Faktanya, sebelum pandemi Covid-19, kehadiran penonton Bundesliga di stadion selalu tinggi dengan rataan tiket paling rendah dibandingkan dengan liga-liga elite lainnya di Eropa.

Faktor utama hal tersebut bisa terjadi karena aturan kepemilikan 50+1. Klub-klub sepakbola di Jerman dengan pengecualian Bayer Leverkusen, VfL Wolfsburg, dan RB Leipzig, ‘dimiliki’ oleh penggemarnya

Berdasarkan peraturan Liga Sepak Bola Jerman [DFL], klub sepak bola tidak akan diizinkan bermain di Bundesliga jika investor komersial memiliki lebih dari 49 persen saham.

Intinya, investor swasta tidak dapat mengambil alih klub. Alhasil, potensi tindakan yang memprioritaskan keuntungan daripada keinginan pendukung sepak bola dapat dicegah. Walau masih ada celah, investor bisa memiliki klub jika telah berinvestasi tanpa putus selama 20 tahun.

Dengan aturan kepemilikan 50+1, orang kaya Arab, pengusaha Amerika Serikat, atau miliarder Rusia tidak bisa gampang menguasai kepemilikan klub sepak bola di Jerman.

“Sebagian besar investor ingin mendapatkan uang. Dan dari mana mereka mendapatkannya? Para penonton,” kata Watzke.

Mantan presiden UEFA Michel Platini pun memilih model Bundesliga sebagai standar emas: 

“Sementara negara-negara Eropa lainnya memiliki liga yang membosankan, stadion yang setengah kosong dan klub di ambang kebangkrutan, sepak bola Jerman berada dalam kesehatan yang luar biasa,” kata dia pada 2013.

Tapi, apakah aturan kepemilikan 50+1 ini bisa diterapkan di liga lainnya, di Inggris, misalnya. Uli Hesse yang bekerja untuk majalah bulanan sepak bola, 11 Freunde, dalam opininya untuk Guardian, menyatakan sulit. Faktor yang merintanginya sejarah, budaya, dan aturan.

Hesse menyebut, hingga abad ke-21, klub-klub sepak bola Jerman, bahkan yang terkaya dan terbesar sekalipun, merupakan tim amatir. Mereka dijalankan oleh voluntir. Komunitas sepak bola bahkan masih memegang gagasan, sepak bola bukanlah bisnis.

Sebelum Bundesliga terbentuk pada 1963, semua klub Jerman mengikuti format yang sama. Mereka didirikan oleh para peminat untuk melayani komunitas lokal.

Siapa pun yang tertarik, dapat bergabung dan memberikan suara pada semua urusan klub. Itulah mengapa klub-klub tersebut tidak hanya publik, tapi organisasi nirlaba yang didirikan untuk kebaikan bersama.

Selama empat dekade setelah profesionalisme, klub-klub Jerman mampu menahan iblis komersialisasi. Presiden tidak dibayar yang dipilih oleh anggota menjalankan tim terbaik di Eropa.

Booming sepak bola di dekade 90-an kemudian mengubahnya. Klub-klub ‘tradisional’ Jerman yang ‘tidak dimiliki siapapun' dianggap bisa kalah bersaing dengan tim-tim negara lain. Maka, asosiasi Liga Jerman mengubah aturan pada 1998. Muncullah aturan kepemilikan 50+1 yang tetap ‘memprioritaskan’ penggemar.

Menurut Hesse, bagi fans di luar Jerman, pengaturan ini mungkin tampak menarik, tetapi sulit diaplikasikan. Dia mencontohkan, akan sangat susah klub di Inggris dengan sukarela mengalihkan kepemilikan aset. Para investor tentu tidak akan rela dan akan memberikan perlawanan.


Aturan kepemilikan 50+1 juga tidaklah sempurna.Pada 2017 lalu, Ketua Dewan Eksekutif Bayern Munchen Karl-Heinz Rummenigge mengatakan, klub harus diberi kekuasaan lebih luas untuk memutuskan apakah mereka butuh investasi dari luar.

Boikot


STADION
Selhurst Park, London, 25 Januari 1995. Ejekan Matthew Simmons membuat darah Eric Cantona kian mendidih. Kapten Manchester United asal Prancis yang sesaat sebelumnya mendapat kartu merah dari wasit, Alan Wilkie, langsung melayangkan tendangan ke pada fan Crystal Palace itu.

Momen Cantona saat mencoba untuk mengenyahkan rasisme dari sepakbola dengan tendangan kungfunya masih membekas hingga sekarang. Seperempat abad berlalu, sepak bola, lebih luas lagi dunia olahraga, masih terkungkung dalam masalah yang sama.

Kini, media untuk menyerang para atlet semakin meluas. Ejekan bernada rasialis hingga ancaman pembunuhan terhadap atlet, bahkan anggota keluarganya, kian masif melalui media sosial.

Kapten Watford, Troy Deeney, mengaku, mendapatkan enam kali ancaman pembunuhan yang ditujukan kepada anak perempuannya. Sejumlah pemain di Liga Inggris lainnya juga mendapat diskriminasi dan pelecehan melalui media sosial.

Kick It Out, organisasi yang menentang rasisme, menyebutkan, laporan terkait diskriminasi selama musim kompetisi 2019-2020 di liga profesional sepak bola naik 42 persen dari musim sebelumnya. Jumlah insiden meningkat dari 313 menjadi 446.

Laporan pelecehan bernada rasialis juga meningkat 53 persen. Jumlah kasusnya naik dari184 pada musim sebelumnya menjadi 282. Kick It Out juga menerima 117 laporan serangan atas dasar orientasi seksual. Angka ini meningkat 95 persen!

Manchester United menyebutkan melalui unggahan di Twitter, sejak September 2019, ‘pelecehan online’ yang diterima para pemainnya meningkat 350 persen sejak September tahun lalu.

Survei BBC Sport terhadap atlet top wanita Inggris menemukan bahwa sepertiga dari partisipan telah mengalami pelecehan di media sosial.

Kondisi ini membuat para atlet frustasi. Komunitas sepak bola Inggris pun mengambil sikap untuk melawan ‘pelecehan dan rasisme online’. Mereka memboikot media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter mulai Jumat lalu. Aksi ini berakhir Senin.

Klub-klub Liga Inggris bergabung dengan FA, EFL dan Liga Super Wanita dalam protes ini. Dalam pernyataannya, pihak Liga Premier, meminta perusahaan media sosial untuk lebih banyak berusaha untuk memberantas kebencian-kebencian yang diungkapkan para pengguna platform mereka.

Mereka juga meminta pemerintah Inggris untuk memaksa perusahaan media sosial, melalui undang-undang, bisa lebih bertanggung jawab terhadap platform mereka.

“Perilaku rasis dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima dan pelecehan mengerikan yang para pemain terima di platform media sosial tidak dapat dibiarkan berlanjut,” ujar Kepala Eksekutif Liga Premier Richard Masters.

Boikot terhadap media sosial ini menuai dukungan banyak pihak, termasuk UEFA dan ECA (European Club Association). Bahkan komunitas kriket dan rugbi pun turut serta.

Komunitas sepak bola mengajukan, setidaknya, empat tuntutan kepada perusahaan media sosial. Pertama, pemblokiran terhadap postingan rasis atau diskriminatif. Kedua,  postingan yang melecehkan dihapus melalui tindakan yang tegas, transparan, dan cepat.

Ketiga, proses verifikasi yang lebih baik untuk memungkinkan penegakan hukum mengidentifikasi pengguna dan menghentikan pembuat postingan yang melecehkan membuat akun baru.

Keempat, platform medsos bekerja lebih dekat dengan kelompok penegak hukum untuk mengidentifikasi orang yang memposting konten diskriminatif jika melanggar hukum.

Lalu bagaimana tanggapan Facebook, Instagram, dan Twitter, terhadap aksi boikot ini? Facebook, seperti mengutip CNBC, menyebut telah mengambil sejumlah langkah.

“Kami terus bekerja sama dengan polisi Inggris Raya terkait perkataan yang mendorong kebencian, dan menanggapi permintaan informasi yang sah secara hukum, yang mungkin penting untuk penyelidikan.

“Kami akan terus mendengarkan masukan dan terus memerangi kebencian dan rasisme di platform kami,” demikian pernyataan seorang juru bicara Facebook.

Adapun Twitter mengaku telah menghapus lebih dari 7.000 tweet di Inggris sejak 12 September lalu.

Dalam pernyataan pada Februari, Twitter menyatakan bahwa “teguh dalam komitmen kami untuk memastikan percakapan sepak bola di layanan kami aman untuk penggemar, pemain, dan semua orang yang terlibat dalam permainan”.

Media sosial bak pisau bermata dua. Suka atau tidak suka, media sosial juga bagian dari lanskap dunia olahraga, pun sepak bola, yang bisa memberikan keuntungan, semisal sponsor, citra diri.

Di sisi lain, kehidupan sehari-hari mereka kian terbuka. Media sosial juga jadi kanal bagi pembenci mereka untuk menyerang, menghina, dan melecehkan. Hal ini tentu tak bisa ditoleransi.

Lantas, apakah aksi boikot terhadap media sosial di akhir pekan ini cukup? “Ini adalah permulaan,” ujar mantan pesebak bola Prancis yang pernah menjadi ikon Arsenal Thierry Henry.

Sabtu, 31 Desember 2016

Tar Ter Tor

"every year is getting shorter, never seem to find the time."
                                                                                                  Time
                                         Pink Floyd

foto: roeder-feuerwerk.de
SENIN, 31 Desember 2012, asap mengepul memenuhi halaman belakang sebuah rumah di Sinindian, Kotamobagu. Puluhan ruas bambu berukuran sekitar 70 cm dipasang berjejer di atas pembakaran. 

Sejumlah orang tak peduli dengan kepulan asap berusaha menjaga beras ketan dalam ruas bambu supaya masak dengan sempurna sehingga menjadi 'nasi jaha' atau 'binarundak' yang nikmat.

Tar, ter, tor, suara petasan terdengar sejak sore bersahutan dari segala arah. Sesekali terdengar juga suara terompet kendati waktu pergantian tahun masih beberapa jam lagi. 

Beberapa pemuda yang sedang mempersiapkan di belakang rumah dekat warung kopi tersebut rupanya tak mau kalah. Mereka pun mulai menyalakan kembang api dan petasan kendati malam belum pekat.

Ustaz yang rumahnya dekat dengan 'dapur umum' tersebut rupanya mulai terganggu dengan suara letusan yang bersahutan. Dia pun menutup pintu depan rumahnya yang sebelumnya terbuka. 

Tiba saat sang Anak Ustaz keluar dari rumah bersama pacarnya, Ustaz yang bertubuh tambun dan berkacamata tersebut sempat mengajak berbincang sesaat akan menutup pintu kembali rumahnya.

"Kiamat tidak jadi kan, mas," kata dia kepada saya sambil memegang daun pintu. Saya sempat tertegun sejenak dan tidak langsung membalas perkataanya. 

"Tidak ada yang tahu kapan itu kiamat," kata dia seraya mengutip sebuah hadis. Sambil menutup pintu dia menuntaskan perkataanya, "Bisa-bisanya tertipu dengan segala macam ramalan."

Di balik kaca depan yang transparan depan rumahnya, saya sempat mencuri lihat sang Ustaz. Dia duduk di kursi plastik dan sibuk menggoreskan tulisan di sebuah kertas di atas meja. 

Entah apa yang dia tuliskan dan itu bukan urusan saya juga. Saya kembali menenggelamkan diri dengan Pink Floyd, Bjork, Thom Yorke, kadang Royksopp dari Youtube.

Konsentrasi saya dari layar komputer jinjing teralih saat seorang anak masih belasan membawa satu kardus bertuliskan yang merk bir lokal, Valentin. 

Kemudian seorang pria yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua umurnya dari ABG tersebut membawa kardus yang sama. Bedanya, dia membawa satu dus minuman suplemen yang saya duga akan menjadi campuran bir tersebut.   

Malam ini tahun akan berganti...

*Ya, empat tahun lalu di warung kopi Sinindian.