Rabu, 24 Juni 2015

Teddy Stoddard, Ibu Guru Thompson, dan Johannes Gutenberg

TEDDY Stoddard tak seperti murid-murid lainya. Ibu Guru Thompson yang menjadi wali kelasnya di kelas lima menggambarkan Teddy terlihat acak-acakan. Baju yang dipakainya kotor dan Teddy sepertinya tak pernah mandi.

Masalah Teddy tak sampai di situ. Dia juga menarik diri dari pergaulan teman-teman sekolahnya. Prestasi di sekolahnya pun buruk. Dia tak pernah menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah dengan baik.

Namun Ibu Guru Thompson tak memperlakukan Teddy sebagai anak buangan. Apalagi setelah membaca latar belakang si anak yang ternyata siswa yang cerdas. Perilaku Teddy berubah setelah duduk di kelas tiga. Ibunya meninggal dunia saat itu.

Saat Natal tiba, para siswa memberikan kado kepada Ibu Guru Thompson. Kado-kado yang indah dibungkus dengan sampul warna-warni dan pita nan cantik. Teddy pun tak ketinggalan memberikan kado kepada wali kelasnya itu.

Kado dari Teddy dibungkus ala kadar saja. Tawa teman-teman Teddy pecah saat Ibu Guru Thompson membuka kado tersebut. Isinya satu botol parrfum yang terisi setengah saja. Hadiah lainnya adalah gelang yang manik-maniknya telah tiada.

Ibu Guru Thompson kemudian mengoleskan parfum dan mengenakan gelang. Ibu Guru Thompson berkata, betapa indahnya hadiah dari Teddy. Tawa murid-muridnya pun terhenti.

Ketika kelas berakhir, Teddy tak langsung pulang. Setelah teman-temannya pergi, dia menghampiri Ibu Guru Thompson. Dia kemudian berkata, "wangi Ibu, seperti Ibu saya dulu."

Ibu Guru Thompson kemudian menangis hampir selama satu jam. Dia menyadari bahwa dia seharusnya mengajar anak-anak, bukan hanya mengajarkan pelajaran. Dan, sejak saat itu, Teddy pun kembali seperti sedia kala.

Cerita belum berhenti. Setahun kemudian Ibu Guru Thompson menerima surat dari Teddy. Surat yang diselipkan di bawah pintu itu berisi, Ibu Guru Thompson adalah guru terbaik.

Enam tahun kemudian, Ibu Guru Thompson menerima lagi surat dari Teddy. Teddy telah lulus sekolah menengah atas dengan nilai terbaik. Di akhir surat, Teddy menulis, Ibu Guru Thompson adalah guru terbaik.

Empat tahun setelah itu, sang Murid menulis, ia telah lulus dari perguruan tinggi dengan hasil sangat memuaskan. Teddy tetap tak lupa menulis, jika Ibu Guru Thompson tetap guru terbaik.

Maju empat tahun kemudian, Ibu Guru Thompson kembali menerima surat yang ditandatangani oleh Theodore F Stoddard, MD. Ia meminta, Ibu Guru Thompson menjadi pendamping pernikahannya.

Di hari pernikahan Teddy, Ibu Guru Thompson memakai parfum dan gelang pemberian sang Murid.

Saat memeluk Ibu Guru Thompson Teddy mengatakan, "Terima kasih, Bu Thompson, Ibu mempercayai saya. Terima kasih banyak untuk membuat saya merasa penting dan menunjukkan bahwa saya bisa membuat perbedaan. "

Ibu Guru Thompson, dengan air mata di matanya, berbisik, "Teddy, kamu salah. Kamu lah orang yang mengajarkan saya bahwa saya bisa membuat perbedaan. Aku tidak tahu bagaimana cara mengajar sampai bertemu denganmu."

Kisah yang mengharukan tapi indah.



*** 
Saya jadi teringat guru Bimbingan dan Penyuluh (BP) di SMP dulu. Ia mengatakan, jika siswa melakukan kesalahan, janganlah fokus pada apa yang siswa itu lakukan, tapi mengapa melakukan itu.

Ok, saya membaca kisah tentang Teddy Stoodard setelah seorang teman 'membagikanya' di linimasa facebook. Saya biasanya mengabaikan cerita-cerita yang dibagikan di linimasa facebook karena belum tentu kebenaranya. Namun tidak untuk yang ini.

Dengan keterbatasan kemampuan Bahasa Inggris (ngomong-ngomong, cerita yang dibagikan teman saya ini dalam Bahasa Inggris), saya merasa terharu.

Saya beberapa kali mengusap mata saya. Mata saya berkaca-kaca untuk beberapa bagian cerita, seperti saat si Ibu Guru memakai parfum dan gelang pemberian Teddy, atau saat di acara pernikahan Teddy.

Kendati demikian, saya tetap penasaran, apakah Teddy Stoddard atau kemudian Theodore F Stoddard MD itu memang benar-benar ada? Seperti saya katakan, jika saya memabaca sesuatu dari facebook, saya tidak akan menelan mentah-mentah.

Sampai akhirnya saya menemukan artikel ini http://jacksonville.com/reason/fact-check/2014-01-31/story/fact-check-heartwarming-story-teddy-stoddard-true. Tulisan ini juga mengambil dari sejumlah sumber.

Cerita tentang Teddy Stoddard dan Ibu Guru Thompson ini pertamakali dipublikasikan dalam majalah HomeLife tahun 1976. Penulisnya Elizabeth Silance Ballard. Di majalah tersebut, cerita ini diberi tanda fiksi.

Dalam wawancara Dennis Roddy dari The Pittsburgh Post-Gazette tahun 2001, Ballard mengatakan, ceriita tersebut diambil dari potongan-potongan cerita. Namun dia mengaku kecewa karena cerita itu terus beredar sebagai kisah nyata.

Ya, biarpun cerita ini fiksi, jelas memberi pengaruh yang besar kepada orang banyak.

Eh, tiba-tiba saya teringat kata-kata ini; kebohongan yang berulang-ulang bisa jadi kenyataan. Tapi, dalam kisah Teddy Stoddard dan Ibu Guru Thompson, mungkin ini yang disebut 'white lie' karena mampu menginspirasi? Saya tak tahu.

***

Kita berada di era Gutenberg, kata Jeff Jarvis, seorang profesor dan jurnalis. Gutenberg yang maksud tentu saja mesin cetak yang 'ditemukan' oleh Johannes Gutenberg. Dengan mesin cetak itu, surat kabar atau buku bisa dicetak secara massal.

Tak semua orang bisa memiliki mesin cetak itu. Atau jika pun mampu membeli, buat apa?

Namun sekarang tak harus memiliki mesin cetak untuk mempublikasi sebuah berita. Seperti kata Jarvis dalam acara StarTalk yang disiarkan di National Geographic dan dipandu Neil deGrasse Tyson, 'Pers Guttenberg' sekarang dalam saku.

Kita bisa mempublikasikan informasi, baik itu opini, sendiri. Tak perlu lagi mesin cetak. Cukup punya punya telepom genggam atau tablet. 'Tool-nya bisa saja blog, facebook, twitter, atau instagram.

Jarvis bahkan mengatakan, masa media massa sudah diambang akhir. Mesin cetak yang ditemukan 600 ratus tahun lalu memang telah mengubah dunia. Mengubah cara pandang masyarakat tentang dunia. Informasi dikumpulkan dalam satu, yakni surat kabar.

Namun perubahan adalah mutlak. Sekarang tinggal klik dan klik....

Dalam acara itu, Neil Tyson juga mewawancarai Arianna Huffington, pendiri The Huffington Post. Saya suka kutipan ini; "If you look at the way people use social media a lot of it is artificial. And someone said, there is no human being who is as happy as an Instagram, no human being who is as upset, outraged and miserable as on Twitter, and nobody who is as employable as on Linkedln. ...So there is a little bit of a manufactured identity."

Bagi saya, dalam kehidupan nyata pun kita bisa memanipulasi diri sendiri, apalagi dalam sosial media. Ada yang saleh, taat, pemarah dan ....

Pada akhirnya, seperti bos saya di kantor katakan, waktu akan menguji kredibilitas. Apakah yang kita sampaikan jujur?


***

P.S Jangan pernah percaya dengan apa yang ditulis di atas! :D