Minggu, 30 Oktober 2011

Mang Ahum

Setiap ke Leles, saya selalu berharap dapat merasakan mie ayam Mang Ahum. Namun, keinginan sederhana tersebut selalu menjadi terasa mewah. Waktu yang tidak pas atau keinginan lain selalu membenturnya. 

Kesempatan merasakan mie ayam Mang Ahum akhirnya tiba tak sengaja di Kamis siang itu. Saat saya berputar di SPBU, Mang Ahum baru saja keluar dari SMA dimana dulu saya bersekolah. Tampaknya jam istirahat sudah lama usai, dia beranjak menuju Alun-alun Leles. 

Mie ayam yang dijualnya tak jauh berbeda saat dulu biasa membelinya. Kuahnya masih kental bercampur sawi dan sedikit ayam. Rasa mienya juga tak jauh beda; masih juga tercium terigu yang belum masak betul. Namun, harganya pasti berubah. 

Dulu, belasan tahun yang lalu, seingat saya harganya Rp 1.500 atau Rp 2.000 per mangkuk. Setelah hampir 12 tahun naik menjadi Rp 4.000. Kendati berubah, harga mie ayamnya masih cukup murah bukan? 

Dan, perubahan adalah keniscayaan. Pun bagi Mang Ahum yang bisa menebak kalau saya alumni SMA dimana dia biasa mangkal. Belasan tahun lalu, dia mengaku dapat dengan mudah menjual 150 mangkuk mie ayam dalam waktu 20 menit saat siswa istirahat. 

"Saya kadang bisa langsung pulang karena dagangan sudah habis. Atau paling tidak, tunggu pulang sekolah lalu jualan sebentar di Alun-alun untuk penghabisanya," ujar pria berbadan kurus ini di siang hari yang tak terlalu panas itu. 

Ingatan saya pun kembali saat masih memakai seragam putih abu. Saat waktu istirahat tiba, puluhan orang langsung menyerbu gerobak Mang Ahum. Dia pun sudah menyiapkan mangkuk-mangkuk yang telah berisi bumbu dan tinggal diberi mie, ayam dan kuah. Tak sedikit dari kami, setelah makan langsung ke kelas dan tak membayar. 

"Tapi itu tak bikin rugi karena saat itu banyak pembelinya. Paling juga 'hilang' lima mangkuk," kata Mang Ahum sambil sedikit menyunggingkan senyum sehingga kumisnya yang tak rapi sedikit bergerak. 

Namun ada saatnya, dia rugi lantaran banyak yang tak bayar. Mang Ahum mengaku sampai berhenti berdagang selama lima atau enam bulan. "Itu terjadi tahun 2003. Setelah berhenti, ya, jualan lagi," imbuh dia. 

Namun, kini semuanya berubah. Terjual 30 mangkuk saja di sekolah yang terletak hampir di perbatasan Kecamatan Leles dan Kecamatan Kadungora tersebut, Mang Ahum sudah merasa beruntung. Dan, ditambah berjualan di Alun-alun Leles, paling tinggi dia bisa menjual mie ayam sebanyak 80 mangkuk. 

Dia pun mengurai beberapa alasan penurunan angka penjualan daganganya. "Sekarang itu banyak sekali yang jualan. Dulu di sini hanya ada mie ayam, baso tahu, batagor dan cendol," kata pria bekulit gelap ini sambil sesekali matanya menatap halaman sekolah. 

Banyak siswa yang memakai kendaraan roda dua pun menjadi alasan. Lho, kok, bisa? "Pulang sekolah mereka langsung pulang karena pakai motor. Tak ada menunggu angkot, jadi jarang juga yang jajan lagi di sini," tambah Mang Ahum menjelaskan. 

Dia mengarahkan telunjuknya ke arah puluhan sepeda motor yang berjejer di pinggir lapangan basket dan pinggiran beberapa kelas. "Lihatlah. Dulu, ingat kan motor-motor yang parkir tak sebanyak ini. Paling juga hanya beberapa saja dekat kelas itu," imbuh dia. 

Mang Ahum pun menambahkan, para siswa yang jajan mie ayamnya di Alun-alun Leles pun sangat jarang. Namun demikian, pria ini mengaku tak ada pilihan lain, selain tetap berjualan mie ayam. Pekerjaan yang telah digelutinya belas tahun. 

Perbincangan kami berlangsung beberapa menit saja. Selesai bayar mie ayam yang telah saya makan, dia pun melanjutkan jualanya. "Ke alun-alun dulu," ucapnya.

.:: Bali geusan ngajadi, 20.10.2011 ::.

Tidak ada komentar: