Minggu, 30 Oktober 2011

Sophie Amundsen

Di tengah gelombang film-film serial drama korea (K-Drama), seorang teman saya lebih memilih menonton sinetron lepas atau film televisi (ftv). Alasan dia sederhana; ceritanya cepat selesai dan tetap menghibur.

Teman saya ini adalah seorang lelaki yang usianya sudah termasuk dewasa. Rambutnya hampir sebahu dan mempunyai selera musik dengan genre britpop, seatle sound, bahkan kadang dia menikmati juga hardcore.

Namun saat menonton sinetron lepas, dia bisa terbawa suasana. Suatu waktu, saya melihat matanya berkaca-kaca saat ada adegan tentang hubungan kakak-adik yang berkonflik gara-gara seorang pria.

Suatu kali dia pun berkata, "Iri lihat adegan sinetron." Namun, dia juga menyadari jika sinetron tersebut bukanlah realitas. Hanya adegan-adegan untuk menghibur.

Bagi saya, dunia dalam kotak itu tak jauh beda dengan apa yang dianggap nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ambil contoh 'drama' reshuffle kabinet yang ramai beberapa waktu lalu. Juga permasalahan politik atau hukum yang bak sinetron dengan para pemain yang tak kalah 'hebat' dengan aktor dan aktris di ftv.

Saya (merasa) hidup di dunia hiperrealitas. Dunia seperti yang dikatakan seorang sosiolog Prancis, Jean Baudrillard. Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran.

Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu. (http://aprillins.com/2009/577/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas/)
**

Dalam sebuah katalog pamerannya di Stockholm tahun 1968, Andy Warhol meramal, suatu saat siapa pun bisa terkenal dalam jangka 15 menit. "In the future everyone will be world-famous for 15 minutes."

Saya tak mengerti bahasa Inggris, jadi saya bisa salah mengartikan dan memahami apa yang ditulis Warhol kendati sudah menjadi kutipan yang terkenal. Saya hanya memahami jika saat ini siapa pun bisa terkenal hanya dengan tampil kurang dari 15 menit.

Sinta dan Jojo tiba-tiba terkenal, kemudian Norman Kamaru, polisi berpangkat Brigadir Satu menyusul ketenaran dua gadis tersebut. Baru-baru ini, seorang penyanyai dangdut, Ayu Tingting 'booming' dengan alamat palsunya.

Kadang saya merasa, sepertinya kita berlebihan dalam mengonsumsi 'kebudayaan' tersebut. Masih mengutip dari http://aprillins.com/2009/577/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas/, "Kebanyakan dari masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda."

Ah, jarak antara fakta dan informasi memang samar.
**

Bagaimana kabar Sophie Amundsen setelah keluar dari dunia cerita Jostein Gaarder, ya?
***

.:: Tol Cipularang, 10.25.2011 ::.


*Foto diambil dari http://englishrussia.com/2007/09/06/old-soviet-tv-sets/

Tidak ada komentar: