Sabtu, 12 Juni 2010

Regesan

Regesan apabila diartikan secara bebas adalah angin bertiup nan sejuk. Rasa itu yang membuat Indra Sasube selalu ingin melongok air terjun yang terletak di Tinoor, Tomohon. "Jika saya menginginkan ketenangan, saya akan datang ke tempat ini. Sejuk dan pikiran pun menjadi tenang," kata remaja yang baru saja menyelesaikan ujian akhir.

Air yang jatuh dari atas tebing setinggi sekitar 30 meter tersebut seakan saling berkejaran. Berusaha untuk segera mecapai dasar danau kecil yang berada di bawahnya. Namun, sebagian air tersebut sudah terhempas ketika mengenai batu yang menonjol diantara tebing.

Ada juga bagian-bagian kecil yang tidak bisa bertahan dari arus utama. Mereka berhamburan dan terhempas hampir tak terlihat. Seperti kabut, tapi percikan kecilnya terasa di tubuh. Sementara itu, aliran sungai tak berhenti bergemuruh.

Sudah enam kali dalam beberapa bulan terakhir, Indra anggota kelompok pecinta alam ini datang ke Regesan. Kadanng dia datang sendiri atau bersama teman-temanya. "Selalu ada yang baru setiap kali datang ke sini," katanya.

Bagi saya, sekali cukup sudah. Untuk bisa menikmati keindahan Air Terjun Regesan Tinoor Satu, harus menuruni tebing dengan sudut kecuraman hampir mendekati 80 derajat. Jalan terjal tersebut kira-kira jaraknya 50 meteran dari atas ke bawah. Tidak perlu hati-hati, tapi ekstra hati-hati yang dibutuhkan selama menuruni tebing itu.

Kendati jaraknya hanya sekitar 300 meter saja dari jalan raya Manado-Tomohon, air terjun Regesan tidak akan mudah ditemui. Dia teresembunyi. Tertutup rimbunan tanaman diantara perbukitan, di sebuah lembahan yang tebingnya sangat curam.

Jika berniat pergi ke air terjun tersebut, maka sebagai patokannya adalah sebuah bangunan mirip gardu di tepi jalan Manado-Tomohon. Bangunan yang dindingnya coreng moreng karena aksi vandalisme itu terletak di sebelah kiri . Jaraknya sekitar 75 meter sebelum jalan masuk ke Kelurahan Tinoor jika dari arah Manado.

Dari bangunan yang tidak terawat itu, ada jalan setapak yang sudah plester. Ikuti jalan setapak itu hingga sampai sekira 250 meter. Di pinggiran jalan setapak itu ada satu dua rumah dan beberapa tempat duduk yang sepertinya sengaja dibuat bagi para pengunjung.

Setelah mentok, ada sebuah jalan setapak kecil. Dia berada di sebuah tebing. Dan jalan itulah satu- satunya untuk menuju Air Terjun Regesan. Perlu keberanian dan persiapan fisik yang cukup untuk menuruni tebing tersebut.

Bagi yang tidak terbiasa atau pertamakali, mungkin bukan hanya kaki saja yang dipakai untuk berjalan. Tapi juga, tangan, bahkan bagian tubuh lainnya harus memijak di tanah. Jalan kecil ini bahaya. Tidak ada pengaman.

"Dulu ada beberapa pohon yang sengaja di taruh sebagai pijakan atau tempat untuk digang tangan, tapi banyak yang hilang. Mungkin karena jatuh atau para pengunjung yang iseng merusaknya," ujar Indra.

Namun bagi sebagaian orang, hal tersebut justru memacu adrenalin untuk menaklukannya. Seperti beberapa anak sekolah yang melepas penat setelah Ujian Nasional. "Kami ke sini memang untuk refresing," ujar Arland dari SMAN 3 Manado.

Semua penat itu hilang manakala sudah tiba di bawah lembah dan melihat air terjun tersebut. Tenaga seakan pulih kembali ketika melihat indahnya air terjun tersebut. Dan, tenaga itu haru disimpan, untuk bekal pulang kembali ke atas bukit.

Monyet Putih

Air terjun Regesan Tinoor mempunyai sebuah kisah. Cerita turun temurun yang semakin kabur dan selalu terselip kata konon saat mereka menceritakannya.

Ada makhluk berupa yeti; wolay atau monyet yang menjaga keasrian tempat tersebut. "Berbeda dengan monyet biasanya. Menurut cerita, monyet ini berwarna putih dari ujung kepala hingga kaki," ujar Oscar Lolowang, warga Kelurahan Tinoor.

Saya membayangkan Hanoman.

Kata Oscar, wolay ini sangat protektif. Jadi jangan coba-coba berbuat onar atau melakukan hal yang tidak dibenarkan secara moral di tempat tersebut. Bila tidak monyet putih tersebut akan mengejar si pembuat onar tersebut.

"Sebab itu, jangan berteriak-teriak atau bagi yang berpacaran jangan sampai berlebihan jika berada di air terjun itu," kata Oscar.

Namun sepengetahuan dia, hingga saat ini memang belum ada yang melihat monyet putih tersebut. "Tapi kabarnya memang dia selalu menunggui tempat tersebut," imbuhnya.

"Namun, mungkin pesan yang ingin disampaikan orangtua dulu adalah pentingnya menjaga tempat tersebut agar tetap asri."

Di luar cerita tersebut, Oscar mengatakan keasrian dan keindahan alam tersebut sayang jika dibiarkan dan tidak terawat seperti sekarang. Dia berharap Pemerintah Kota Tomohon dapat memperhatikan aset wisata tersebut.

"Itu hanya air terjun satu saja, apalagi jika melangkah lebih jauh ada air terjun empat, dimana air yang jatuh tidak hanya satu tapi empat dalam satu areal. Pasti banyak orang yang tertarik datang," ujarnya.

Tidak terawatnya tempat tersebut dapat terlihat sejak akan memasuki areal air terjun tersebut. Gardu di pinggir jalan Tomohon-Manado sudah coreng moreng, tempat-tempat istirtahat sepanjang jalan kendati masih bagus sudah kotor.

Harap Oscar, "Jangan biarkan aset berharga ini menjadi rusak. Jadi saya harap, tempat ini bisa dikelola dengan baik yang pada akhirnya secara ekonomi dapat menguntungkan kepada masyarakat yang berada di sekitarnya."

Jika harapan Oscat ditujukan kepada pemerintah, sepertinya tidak akan terkabulkan. Setidaknya dalam setahun ini.

Tahun 2010, anggaran tertata pada APBD Kota Tomohon untuk dunia kebudayaan dan pariwisata adalah Rp 9,6 milyar. Sebagian besar anggaran tersebut diperuntukkan untuk kegiata Tomohon of Flower sebesar Rp 8 milyar.

Sisanya adalah gaji pegawai Rp 980 juta. Sekitar Rp 800 juta untuk kegiatan pariwisata dan kebudayaan, termasuk di dalamnya untuk pembanguan infrastruktur tujuan wisata.

Pembangunan infrastruktur tujuan wisata dianggarkan hanya Rp 100 juta. Duit sejumlah itu, diperuntukkan untuk membuat toilet dan gazebu di tempat wisata Danau Linow dan Gunung Mahawu. ***

Tidak ada komentar: