Sabtu, 12 Juni 2010

django

Penjual batagor di dekat pertigaan Tololiu memanggil lelaki tua itu Opa. Sebutan yang jamak bagi orang Tomohon,-bahkan mungkin umumnya orang Minahasa-, untuk memanggil orang yang sudah berusia lanjut.

Penjual batagor bukan tou Minahasa. Mereka asal Malangbong, Garut, yang menulis Batagor Bandung di gerobak dagangannya. Mereka memanggil Opa pada lelaki itu mungkin merupakan usaha 'mihapekeun maneh' dengan budaya setempat.

Dalam beberapa kali percakapan yang kering dengan lelaki itu, saya panggil dia Opa. Tapi, suatu waktu saya panggil dia dengan sebutan Abah. Panggilan yang biasanya saya berikan kepada orang tua di kampung untuk lebih mengakrabkan diri.

Entah berapa usia opa ini. Saya tidak pandai menerka. Tapi saya beranikan diri untuk menjadi orang pandai; mungkin dia berusai 60 tahunan. Mungkin 65 tahun. Tapi, bisa jadi lebih muda dari dugaan saya. Kesenangan dan kesusahan hidup bisa membuat seseorang kelihatan lebih tua atau sebaliknya.

Lelaki ini tingginya sekitar 168 centimeteran. Saya tahu, saat ia berpapasan dengan saya. Bahunya hampir sejajar dengan dengan bahu saya. Dia kurus. Ini tampak terlihat dari tulang-tulang tangannya yang menonjol dibalik kulit tipis mengkerut yang membungkusnya. Wajahnya pun dihiasi kerutan mendekati keriput.

Satu tanda yang jelas dan khas pada pria ini adalah topi bundar di kepalanya. Topi ini sepertinya hanya dilepas saat kepalanya terasa gatal. Bila itu terjadi, tampaklah kepalanya yang sudah membotak. Rambut tipis menguban ternyata hanya tumbuh sedikit subur dibagian bawah kepalanya. Rambut yang memanjang dia ikat dengan tali karet.

Satu lagi yang gampang dikenali. Di sela dua bibir biasanya terselip rokok. Asap selalu keluar seakan tak henti dari mulut dengan gigi-giginya yang sudah meninggalkan gusinya. Saat merokok dia selalu mengadahkan dagunya sedikit ke atas. Jika menghisap, matanya sedikit tertutup. Matanya kembali normal berbarengan dengan keluarnya asap rokok.

Di dekat kedai batagor itu, hampir tiap hari dia berjualan langsa atau dukuh. Kadang-kadang rambutan atau buah lainnya dia jual juga. Namun, langsa tetap menjadi dagangan utamanya. Entah jam berapa dia mulai berdagang. Yang jelas, biasanya saya lihat dia berbenah untuk pulang (entah kemana pulangnya), rata-rata jam dinding di kedai batagor itu menunjukkan pukul sembilan malam.

Dia lebih banyak diam menunggu dagangannya. Sesekali dia masuk ke kedai sekedar melihat acara televisi yang menarik hatinya. Sepertinya dia tidak pernah mengeluh dan setia dengan apa yang dia lakukan. Mungkin kesetiannaya tersebut bukan karena hatinya menginginkan itu, namun kebutuhannya yang membuatnya bertahan. Itu hanya dugaan saya saja.

Seperti saya katakan sebelumnya. Dia lebih banyak diam dari pada bicara. Tidak banyak menunjukkan ekspresi kecuali pada pada siaran olahraga yang disiarkan di televisi. Namun suatu waktu, ternyata dia bisa juga menunjukkan rasa sukanya.

Ketika itu adalah manakala seorang penjual batagor meminta saya untuk menunjukkan bagaimana menggunakan kamera poket digital yang biasa saya pakai bekerja. Saat sang penjual batagor itu cari objek untuk di foto, kebetulan opa sedang berada di dalam dengan rokok di bibirnya.

Maka saya pun menunjukkan caranya dengan menjepret Opa. Opa tampak tidak keberatan. Bahkan, dia merokok dengan sedikit bergaya. Ketika saya perlihatkan kepada lelaki pedagang langsa itu, dia tampak senang.

"Seperti Django," ujar dia singkat dengan sedikit senyum. Django sang koboy. Django film western buatan orang Italia yang kabarnya film tersadis yang pernah dibuat. Setidaknya itu yang saya tahu tentang Django.

Namun setelah 'sesi pemotretan' pertama itu selesai, sang Opa tampak enggan difoto lagi. Entah apa sebabnya. Dia bahkan seolah menjauh saat saya sekedar mengeluarkan kamera yang sebelumnya telah dimasukan ke kantong saya.

Saat saya pulang, dia berdiri di sisi pintu antara gerobak Batagor sambil melihat jalanan yang sudah lengang, temaram mendekati gelap dan basah. Saya tidak mau mengganggunya.

Bebebarapa hari terakhir ini, saya tidak pernah berjumpa dengan dia. Flu hebat membuat saya memilih tidak menuai angin malam. Lebih baik saya diam di rumah. Namun, saat itu saya menjadi kepikiran, siapa nama Opa sebenarnya?

.::Tumatangtang, antara 21 - 22 Mei 2010::.

Tidak ada komentar: