Selasa, 04 Mei 2021

Boikot


STADION
Selhurst Park, London, 25 Januari 1995. Ejekan Matthew Simmons membuat darah Eric Cantona kian mendidih. Kapten Manchester United asal Prancis yang sesaat sebelumnya mendapat kartu merah dari wasit, Alan Wilkie, langsung melayangkan tendangan ke pada fan Crystal Palace itu.

Momen Cantona saat mencoba untuk mengenyahkan rasisme dari sepakbola dengan tendangan kungfunya masih membekas hingga sekarang. Seperempat abad berlalu, sepak bola, lebih luas lagi dunia olahraga, masih terkungkung dalam masalah yang sama.

Kini, media untuk menyerang para atlet semakin meluas. Ejekan bernada rasialis hingga ancaman pembunuhan terhadap atlet, bahkan anggota keluarganya, kian masif melalui media sosial.

Kapten Watford, Troy Deeney, mengaku, mendapatkan enam kali ancaman pembunuhan yang ditujukan kepada anak perempuannya. Sejumlah pemain di Liga Inggris lainnya juga mendapat diskriminasi dan pelecehan melalui media sosial.

Kick It Out, organisasi yang menentang rasisme, menyebutkan, laporan terkait diskriminasi selama musim kompetisi 2019-2020 di liga profesional sepak bola naik 42 persen dari musim sebelumnya. Jumlah insiden meningkat dari 313 menjadi 446.

Laporan pelecehan bernada rasialis juga meningkat 53 persen. Jumlah kasusnya naik dari184 pada musim sebelumnya menjadi 282. Kick It Out juga menerima 117 laporan serangan atas dasar orientasi seksual. Angka ini meningkat 95 persen!

Manchester United menyebutkan melalui unggahan di Twitter, sejak September 2019, ‘pelecehan online’ yang diterima para pemainnya meningkat 350 persen sejak September tahun lalu.

Survei BBC Sport terhadap atlet top wanita Inggris menemukan bahwa sepertiga dari partisipan telah mengalami pelecehan di media sosial.

Kondisi ini membuat para atlet frustasi. Komunitas sepak bola Inggris pun mengambil sikap untuk melawan ‘pelecehan dan rasisme online’. Mereka memboikot media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter mulai Jumat lalu. Aksi ini berakhir Senin.

Klub-klub Liga Inggris bergabung dengan FA, EFL dan Liga Super Wanita dalam protes ini. Dalam pernyataannya, pihak Liga Premier, meminta perusahaan media sosial untuk lebih banyak berusaha untuk memberantas kebencian-kebencian yang diungkapkan para pengguna platform mereka.

Mereka juga meminta pemerintah Inggris untuk memaksa perusahaan media sosial, melalui undang-undang, bisa lebih bertanggung jawab terhadap platform mereka.

“Perilaku rasis dalam bentuk apa pun tidak dapat diterima dan pelecehan mengerikan yang para pemain terima di platform media sosial tidak dapat dibiarkan berlanjut,” ujar Kepala Eksekutif Liga Premier Richard Masters.

Boikot terhadap media sosial ini menuai dukungan banyak pihak, termasuk UEFA dan ECA (European Club Association). Bahkan komunitas kriket dan rugbi pun turut serta.

Komunitas sepak bola mengajukan, setidaknya, empat tuntutan kepada perusahaan media sosial. Pertama, pemblokiran terhadap postingan rasis atau diskriminatif. Kedua,  postingan yang melecehkan dihapus melalui tindakan yang tegas, transparan, dan cepat.

Ketiga, proses verifikasi yang lebih baik untuk memungkinkan penegakan hukum mengidentifikasi pengguna dan menghentikan pembuat postingan yang melecehkan membuat akun baru.

Keempat, platform medsos bekerja lebih dekat dengan kelompok penegak hukum untuk mengidentifikasi orang yang memposting konten diskriminatif jika melanggar hukum.

Lalu bagaimana tanggapan Facebook, Instagram, dan Twitter, terhadap aksi boikot ini? Facebook, seperti mengutip CNBC, menyebut telah mengambil sejumlah langkah.

“Kami terus bekerja sama dengan polisi Inggris Raya terkait perkataan yang mendorong kebencian, dan menanggapi permintaan informasi yang sah secara hukum, yang mungkin penting untuk penyelidikan.

“Kami akan terus mendengarkan masukan dan terus memerangi kebencian dan rasisme di platform kami,” demikian pernyataan seorang juru bicara Facebook.

Adapun Twitter mengaku telah menghapus lebih dari 7.000 tweet di Inggris sejak 12 September lalu.

Dalam pernyataan pada Februari, Twitter menyatakan bahwa “teguh dalam komitmen kami untuk memastikan percakapan sepak bola di layanan kami aman untuk penggemar, pemain, dan semua orang yang terlibat dalam permainan”.

Media sosial bak pisau bermata dua. Suka atau tidak suka, media sosial juga bagian dari lanskap dunia olahraga, pun sepak bola, yang bisa memberikan keuntungan, semisal sponsor, citra diri.

Di sisi lain, kehidupan sehari-hari mereka kian terbuka. Media sosial juga jadi kanal bagi pembenci mereka untuk menyerang, menghina, dan melecehkan. Hal ini tentu tak bisa ditoleransi.

Lantas, apakah aksi boikot terhadap media sosial di akhir pekan ini cukup? “Ini adalah permulaan,” ujar mantan pesebak bola Prancis yang pernah menjadi ikon Arsenal Thierry Henry.

Tidak ada komentar: