Rabu, 19 Mei 2021

Apa Gunanya Kompetisi Tanpa Degradasi

MAHASISWA di University of Michigan, Amerika Serikat, kebingungan saat Stefan Szymanski, ekonom asal Inggris, menjelaskan tentang konsep promosi dan degradasi dalam kompetisi di liga-liga olahraga Eropa.

"Mereka bingung dan yakin (konsep) itu tidak akan berhasil di AS,” kata Szymanski, penulis buku Soccernomics, dikutip dari The Athletic.

Liga-liga top olahraga di AS memang tak mengenal konsep degradasi dan promosi. Lihat saja NBA (basket), NFL (football), NHL (hoki) , MLB (bisbol), bahkan MLS (sepakbola) sekalipun. Kompetisi berlangsung secara tertutup.

Mungkin kelihatan aneh, tapi begitulah adanya. Sistem tersebut memungkinkan secara bisnis berjalan lebih terkendali. Tengoklah bagaimana MLS yang digulir mulai 1996, pada 2018 berada di posisi 11 di antara liga-liga di dunia berdasarkan pendapatannya.

Sistem kompetisi tertutup inilah yang coba diadopsi oleh Liga Super Eropa (ESL). Dua belas tim pendiri dan tiga tim lainnya tidak akan terdegradasi dengan tambahan lima tim yang bisa berubah tiap tahunnya. Motifnya, tentu saja, uang.

Menurut Joel Glazer, pemilIk Manchester United yang juga wakil ketua ESL, proyek tersebut mewakili "babak baru untuk sepakbola Eropa." Penggemar sepakbola akan menyaksikan pertandingan klub-klub raksasa di Eropa secara reguler.

Tak kalah penting, pendapatan klub-klub tersebut lebih terjamin. Lembaga perbankan dan investasi, JP Morgan, akan menggelontorkan 4,8 miliar dolar untuk mendanai Liga Super. Setiap klub peserta setidaknya akan mendapatkan 350 juta euro.

Namun hanya dalam 48 jam babak baru ESL luluh lantak. Sebagian orang menyebut, ini adalah kemenangan penggemar sebagai simbol budaya sepakbola atas upaya kapitalis, yakni pemilik klub, untuk lebih banyak mereguk untung secara komersial.

Para penggemar terutama dari Inggris bereaksi keras. Mereka menolak amerikanisasi sistem kompetisi sepakbola Eropa. Bahkan, aksi penggemar Manchester United masih berlanjut. Mereka memang mempunyai hubungan buruk dengan Keluarga Glazer, pemilik klub itu.

Sebagian pendukung MU percaya, Glazer memberi dampak jelek terhadap klub. Keluarga itu hanya mencari keuntungan bukan prestasi. Fasilitas klub tak pernah diperbaiki, bahkan MU punya utang hampir 500 juta euro.

Penggemar sepakbola di Inggris tampaknya menaruh kecurigaan terhadap para pemilik klub asal AS. Bukan kebetulan dari enam tim asal Inggris yang bergabung dengan ESL (walaupun kemudian menyatakan mundur), tiga di antaranya adalah milik investor asal AS.

MU sudah jelas dimiliki oleh Keluarga Glazer. Kemudian ada Arsenal dan Liverpool. Stan Kronke melalui Kroenke Sports & Entertainment menguasai Arsenal, sementara Liverpool merupakan milik grup Fenway.

Apalagi kalau melihat struktur liga olahraga profesional di AS bersifat oligarki. Mengutip Washington Post, keuntungan dari kompetisi dibagi di antara kelompok mereka. Adapun tim yang berkompetisi tetap, tak peduli seberapa baik atau seberapa buruk mereka bermain.

Di sisi lain, kompetisi di liga-liga Eropa secara historis berdasarkan sistem piramida dengan adanya konsep degradasi dan promosi. Tingkat kompetitif tentu tinggi, begitu juga tatraktifnya. Namun secara finansial liga sepakbola ini jauh berisiko.

Sedangkan investor tentu saja mencari sistem dengan risiko terendah dan keuntungan finansial tertinggi. Tak aneh, jika mereka ingin mengurangi risiko investasi, satu di antaranya dengan menghapus sistem berbasis prestasi dan mencari cara untuk membatasi biaya.

Karenanya, wajar saja penggemar sepak bola di Eropa, terutama di Inggris, menolak keras gagasan Liga Super. ESL adalah hasil logis dari komersialisasi sepak bola yang terus meningkat. Kontrol seluruh aspek permainan dimonopoli segelintir orang kuat.

Lalu apa makna sepakbola sebagai permainan rakyat ketika kesenangan para penggemar bergeser kepada pendekatan untuk mencari keuntungan para kapitalis? Saat klub seperti waralaba dan dan penggemar sebagai pelanggan?

Identitas lokal yang kuat dan keterikatan pada tempat direduksi menjadi sekadar "narasi" pemasaran untuk memosisikan merek yang bersaing di pasar global logo dan warna tim.

Para penggemar klub-klub di Inggris sudah merasakan bagaimana komersialisasi berjalan bahkan sebelum ada rencana EPL. Liga Premier Inggris memang paling wahid dalam pengumpulan pundi-pundi keuntungan, namun penggemarnya bisa jadi iri dengan rekan mereka di Bundesliga Jerman

Fan sepakbola di Jerman bisa lebih murah mendapatkan tiket untuk klub favorit mereka. Belum lagi sistem kepemilikan klub 50+1 yang menjadi tameng kepentingan penggemar.

Penyelenggaraan Liga Super buyar, namun masih menyisakan perjuangan para penggemar klub sepakbola di Inggris, terutama MU, untuk mendapatkan hak kepemilikan.

Tak berselang lama dari drama ESL, di Indonesia muncul wacana Liga 1 tanpa degradasi untuk musim 2021/2022. Dampak pandemi Covid-19 jadi alasan. Klub-klub peserta Liga 1 pun terbelah pandangannya. Ada yang setuju, menolak, ada juga masih bingung

Tapi, rasanya bukan kompetisi bila tanpa ada konsep degradasi dan promosi.

Tentu hal berbeda bila tujuannya demi komersialisasi liga seperti layaknya sistem ini bekerja di MLS. Tak mengapa bila memang tujuan kompetisi hanya untuk mereguk keuntungan secara ekonomi dengan menyampingkan nostalgia pendukung tradisional. Namun bisakah demikian?

Bagi saya, yang lahir di Jawa Barat, Persib adalah bagian identitas saya. Ada rasa memiliki bukan sekadar menggemarinya

Lagian pula, bukan hal mudah menerapkan sistem kompetisi tertutup untuk mereguk keuntungan seperti liga sepakbola di AS berjalan. Ya karena perangkat dan kultur yang berbeda.

Tapi bila alasannya asal kompetisi bergulir juga buat apa?

Tidak ada komentar: