Selasa, 04 Mei 2021

50 plus 1

sumber: the League
sumber: the League

RENCANA Liga Super Eropa (ESL) hancur diamuk penggemar sepak bola. Permintaan maaf pemilik klub, terutama di Inggris, tidak menyurutkan tudingan atas ketamakan mereka.

Buntut lain dari ‘bombshell’ itu adalah pembicaraan tentang model ideal kepemilikan sebuah klub sepak bola. Bundesliga pun dilirik jadi contoh. Tapi mungkinkah model kepemilikan klub di Liga Jerman itu bisa diterapkan di liga lain?

Dalam wawancara dengan SportBild beberapa tahun lalu, CEO Borussia Dortmund Hans-Joachim Watzke mengatakan tidak ingin melihat penggemar Jerman “diperah” untuk mendapatkan uang “seperti yang terjadi di Inggris.”

Menurut dia, penggemar sepak bola di Jerman secara tradisional memiliki hubungan yang erat dengan klubnya. “Dan jika dia (fan) merasa bahwa dia tidak lagi dianggap sebagai penggemar tetapi sebagai pelanggan, kami memiliki masalah,” kata Watzke, dikutip dari Budesliga.com.

Faktanya, sebelum pandemi Covid-19, kehadiran penonton Bundesliga di stadion selalu tinggi dengan rataan tiket paling rendah dibandingkan dengan liga-liga elite lainnya di Eropa.

Faktor utama hal tersebut bisa terjadi karena aturan kepemilikan 50+1. Klub-klub sepakbola di Jerman dengan pengecualian Bayer Leverkusen, VfL Wolfsburg, dan RB Leipzig, ‘dimiliki’ oleh penggemarnya

Berdasarkan peraturan Liga Sepak Bola Jerman [DFL], klub sepak bola tidak akan diizinkan bermain di Bundesliga jika investor komersial memiliki lebih dari 49 persen saham.

Intinya, investor swasta tidak dapat mengambil alih klub. Alhasil, potensi tindakan yang memprioritaskan keuntungan daripada keinginan pendukung sepak bola dapat dicegah. Walau masih ada celah, investor bisa memiliki klub jika telah berinvestasi tanpa putus selama 20 tahun.

Dengan aturan kepemilikan 50+1, orang kaya Arab, pengusaha Amerika Serikat, atau miliarder Rusia tidak bisa gampang menguasai kepemilikan klub sepak bola di Jerman.

“Sebagian besar investor ingin mendapatkan uang. Dan dari mana mereka mendapatkannya? Para penonton,” kata Watzke.

Mantan presiden UEFA Michel Platini pun memilih model Bundesliga sebagai standar emas: 

“Sementara negara-negara Eropa lainnya memiliki liga yang membosankan, stadion yang setengah kosong dan klub di ambang kebangkrutan, sepak bola Jerman berada dalam kesehatan yang luar biasa,” kata dia pada 2013.

Tapi, apakah aturan kepemilikan 50+1 ini bisa diterapkan di liga lainnya, di Inggris, misalnya. Uli Hesse yang bekerja untuk majalah bulanan sepak bola, 11 Freunde, dalam opininya untuk Guardian, menyatakan sulit. Faktor yang merintanginya sejarah, budaya, dan aturan.

Hesse menyebut, hingga abad ke-21, klub-klub sepak bola Jerman, bahkan yang terkaya dan terbesar sekalipun, merupakan tim amatir. Mereka dijalankan oleh voluntir. Komunitas sepak bola bahkan masih memegang gagasan, sepak bola bukanlah bisnis.

Sebelum Bundesliga terbentuk pada 1963, semua klub Jerman mengikuti format yang sama. Mereka didirikan oleh para peminat untuk melayani komunitas lokal.

Siapa pun yang tertarik, dapat bergabung dan memberikan suara pada semua urusan klub. Itulah mengapa klub-klub tersebut tidak hanya publik, tapi organisasi nirlaba yang didirikan untuk kebaikan bersama.

Selama empat dekade setelah profesionalisme, klub-klub Jerman mampu menahan iblis komersialisasi. Presiden tidak dibayar yang dipilih oleh anggota menjalankan tim terbaik di Eropa.

Booming sepak bola di dekade 90-an kemudian mengubahnya. Klub-klub ‘tradisional’ Jerman yang ‘tidak dimiliki siapapun' dianggap bisa kalah bersaing dengan tim-tim negara lain. Maka, asosiasi Liga Jerman mengubah aturan pada 1998. Muncullah aturan kepemilikan 50+1 yang tetap ‘memprioritaskan’ penggemar.

Menurut Hesse, bagi fans di luar Jerman, pengaturan ini mungkin tampak menarik, tetapi sulit diaplikasikan. Dia mencontohkan, akan sangat susah klub di Inggris dengan sukarela mengalihkan kepemilikan aset. Para investor tentu tidak akan rela dan akan memberikan perlawanan.


Aturan kepemilikan 50+1 juga tidaklah sempurna.Pada 2017 lalu, Ketua Dewan Eksekutif Bayern Munchen Karl-Heinz Rummenigge mengatakan, klub harus diberi kekuasaan lebih luas untuk memutuskan apakah mereka butuh investasi dari luar.

Tidak ada komentar: