Minggu, 08 April 2012

tuhan tak makan jengkol

"Da Gusti Alloh mah tara emam jengkol, nya Apa?" Pertanyaan bernada retoris ini disampaikan Ujang saat berdiskusi dengan Apa dan Nyai tentang bagaimana Tuhan membuat langit. Pernyataan Ujang tersebut respon atas penjelasan Apa dan pertanyaan Nyai.

Adegan tersebut terdapat dalam antologi karangan pak Wahyu Wibisana berjudul "Anaking Jimat Awaking". Buku tersebut berisi cerita-cerita dalam kolom "Anaking Jimat Awaking" yang dimuat di majalah berbahasa sunda, Mangle, awal tahun 70-an.

Demikian menurut pak Hawe Setiawan dalam pengantar buku yang diterbitkan oleh PT Kiblat Buku Utama. Cetakan pertama buku berbahasa sunda tersebut tercatat pada November tahun 2002.

Ada 28 kisah dalam buku tersebut yang temanya berbeda-beda. Namun benang merahnya pada tiga tokoh, yakni Apa (panggilan kepada Bapak) dan dua anaknya, Nyai dan Ujang. Namun, kadang-kadang muncul juga Emah, atau sang Ibu dalam beberapa bagian.

Cerita-cerita yang beragam, namun tetap dalam 'dunia kecil' mereka. Ada bagian ketika orang dewasa merindukan masa kecil yang hilang. Dan, bagaimana Apa melihat dunia dua anaknya.

"Jeung, upama bapa hidep neuteup leleb ka diri hidep harita, eta the saestuna keur pupuntenan di hareupeun panto alam dunya nu beda, alam dunya nu dipribumian ku hidep pribadi. Naha hidep daek mukakeun pantona? Naha upama geus dibuka, nu pupuntenan teh bisa asup ka jerona?" (Aya Nu Pupuntenan di Luar; hal 13).

Kadang tertawa, senyum, bahkan haru, saat membaca cerita-cerita dalam buku ini. Namun selalu ada makna yang dalam setiap bagian kisahnya. Dan, kadang saya berpikir, anak kecil lah filsuf sesungguhnya dalam dunia ini.
***

Saya merasa surprise saat melihat buku berjudul "Anaking Jimat Awaking" di sebuah toko buku di Manado. Ya, buku itu saya temukan di sebuah rak yang terletak agak terpencil awal Maret tahun 2011 di Manado, Sulawesi Utara.

Tak berpikir panjang, saya langsung beli buku itu. Saya rindu membaca buku dalam bahasa ibu saya, Bahasa Sunda. Waktu kecil, biasanya saya baca majalah Mangle dari 'kapi nini dan kapi aki' (adiknya nenek saya) yang memang berlangganan majalah tersebut.

Namun sampai satu tahun lebih, buku tersebut belum saya baca juga. Nasibnya lebih buruk dibandingkan beberapa novel dan buku yang berbulan-bulan bahkan capai setahun belum tuntas juga bacanya.

Saya sementara menyalahkan era digital sehingga hal tersebut terjadi. Tudingan yang licik memang. Tapi, memang saya lebih banyak baca di ponsel atau buka laptop. Namun, beberapa hari lalu, saya merasa berdosa saat melihat buku-buku atau novel yang belum terbaca.

Saya teringat ketika dosen saya dulu mengeluarkan celetukan saat mengajar. "Semoga saya tidak berdosa karena hanya membeli buku, kemudian menyimpanya tanpa pernah membacanya." Kurang lebih demikian beliau katakan saat itu dengan nada menyesal.

Saya tidak ingin menyesal. Saya tidak mau menikmati hanya sebagai kolektor. Saya ingin menikmati kata demi kata, kalimat per kalimat, paragraf ke paragraf, dengan bau kertas tercium. Ah, nikmatnya!

Dan, setelahh baca antologi "Anaking Jimat Awaking", saya rasa tidak menyesal meluangkan waktu. Saya puas.

..:: Kotobangon, peuting maju ka janari 8 April 2012 ::.

Tidak ada komentar: