Kamis, 18 November 2010

Mang Daim

Mang Daim, demikian lelaki itu saya panggil. Saya tidak pernah tahu nama lengkapnya. Saya hanya mengikuti teman-teman juga kakak kelas yang terlebih dahulu sering menunggu mobil di portal yang biasa dia jaga. Mungkin yang lain juga tidak tahu nama asli dia. Kami menerima tanpa sadar nama Mang Daim itu.

Bagi pelajar yang berdomisili di daerah arah timur Leles dan bersekolah di kota kecamatan tersebut,-setidaknya, hingga akhir tahun '90-an-, dapat dipastikan mengenal sosok Mang Daim. Terutama siswa sekolah yang terbatas kemampuanya untuk membayar ongkos ojek atau kendaraan umum lainnya.

Pulang sekolah, kami berkumpul di pos portal Mang Daim, yang masuk daerah Nangkaleah. Kami menunggu mobil angkutan barang yang menuju ke arah desa atau kampung dimana kami berasal. Beberapa kampung tersebut diantaranya Cikondeh, Ciperang, Sukarame dan Pasir Guling. Jarak dari pos portal ke kampung saya yang bernama Ciperang sekitar 3 km.

Pemandangan anak sekolah naik truk pengangkut bata merah pada saat itu adalah hal biasa di daerah kami. Kerap saya alami, sebelum masuk kelas pakaian dan tubuh sudah kucel karena debu-debu batu bata merah menempel. Apalagi ketika pulang sekolah, saya semakin kucel karena naik mobil truk juga dari pos portal Mang Daim menuju rumah.

(Tapi, kalau ngomongin kucel, sampai saat ini saya masih kucel. Hehe... )

Saya tidak pernah ngobrol akrab dengan Mang Daim. Bahkan, saya yakin dia tak pernah tahu nama saya. Mungkin karena saya tidak pandai menjalin komunikasi. Tidak supel. Dan, dia juga mungkin menganggap siswa SMP seperti saya saat itu masih terlalu kecil untuk diajak berbincang, kendati sekedar obrolan ngalor-ngidul.

Namun bukan berarti Mang Daim tidak ramah. Yang pasti, bagi saya Mang Daim orang baik. Dia terkadang menghentikan mobil agar kami tidak kesorean pulang ke rumah. Padahal dia tidak mengambil uang portal dari mobil tersebut yang merupakan kewajibanya sebagai pegawai di Dispenda Garut seperti yang tertera di lengan baju coklat seragamnya.

Saya tidak tahu sudah berapa lama dia menjaga pos portal tersebut. Apalagi status kepegawaian dia di Dispenda, apakakah PNS atau Honorer. Namun menurut paman saya, dia juga mengenal Mang Daim sejak dia sekolah pada tahun '80-an. Artinya, Mang Daim sudah belasan tahun menjaga portal jalan tersebut.

Saat saya SMP, dia kira-kira sudah memasuki usia 50 tahunan. Namun tampangnya tampak lebih tua lagi. Wajah lelaki yang tingginya sekitar 165 centimeter tersebut sudah berkeriput. Matanya sering terlihat merah dengan kulit yang mengantung di bawahnya. Sepertinya, dia selalu kurang tidur.

Rambut yang sudah memutih di kepalanya menambah kesan tua. Giginya sebagian sudah tidak ada alias ompong. Sehingga kalau dua bibirnya mengatup tampak semakin menciut bagian bibir atasnya. Sementara bibirnya satunya tetap terjaga bentuknya lantaran tebal.

Entah ini yang dinamakan kesetiaan kerja; sepanjang yang saya ketahui dia tak pernah absen menjaga pos portal tersebut. Tiap hari saya menemukan Mang Daim di pos portal tersebut. Hanya Ahad saja saya tak menjumpainya, lantaran sekolah libur. Di hari Jumat pun, saat waktu sholat Jumat, dia lebih memilih jaga pos.

Kini, portal tersebut tidak ada. Bahkan sisa pos pun tidak ada. Saya tidak tahu dimana keberadaan Mang Daim. Kabarnya sudah meninggal. Saya berdoa, terbaik baginya. Dia orang baik yang selalu membantu anak sekolah seperti saya dulu.

.:: Ciperang, 18.11.2010, setelah lewati tempat bekas pos portal Mang Daim

Tidak ada komentar: