Rabu, 13 Februari 2013

Stiker dan Bentor

BUNDARAN yang berada di pusat kota itu sudah hiruk dengan puluhan orang yang berdemonstrasi menuntut pembentukan provinsi baru siang itu. Namun hajat yang memberat membuat saya tak terlalu memperdulikan aksi itu.  Saya cegat bentor dan mengarahkan tujuan ke kampus terdekat. Bukan untuk kegiatan akademis,  tapi cari toilet untuk buang hajat.

Dinding kaca kanan dan kiri bentor yang saya naiki ternyata bersih dari stiker orang-orang yang berpose tersenyum. Padahal biasanya foto-foto orang tak fotogenik namun tampil percaya diri itu menghiasi kaca-kaca bentor. Bahkan, tak jarang menempelkan pesan-pesan yang seolah-olah dirinya hebat.

Saya pun iseng bertanya kepada sopir bentor. "Tak pasang stiker, pak?  Biasanya di bentor-bentor ramai pasang stiker," kata saya mencoba membuka percakapan dengan sopir bentor yang saya perkirakan sudah memasuki usia 50an awal itu.

"Saya tidak pasang," ujar sopir bentor  itu. Dia sempat melirik kepada saya kemudian matanya kembali fokus melihat jalan. "Buat apa juga kendati kalau pasang dapat Rp 50 ribu. Kalau pasang seolah membohongi diri sendiri karena bisa jadi saya tidak memilih dia saat pemungutan wali kota nanti."

Namun demikian, sopir bentor yang hampir semua giginya ompong ini mengungkapkan perkiraan politiknya. "Saya tak yakin wali kota sekarang dapat terpilih kembali. Di awal-awal saja sudah mengecewakan.  Dia berniat menghapus bentor. Untung hal tersebut tak jadi," kata dia.

Tak terasa, kami sudah sampai di depan kampus yang saya tuju. Namun perbincangan kami belum usai. Ternyata, bentor yang saya tumpangi tak bersih juga dari stiker politik. Sopir bentor itu menunjukkan stiker yang berada badan rangka bentor, tepatnya di atas ban bentor.

"Ini saya pasang karena ada yang datang ke rumah membawa segala macam kebutuhan rumah tangga saat itu. Kemudian dia memberikan ini," kata dia menunjukkan stiker yang berisi tulisan nama seorang anggota DPR RI.

Perbincangan kami akhirnya benar-benar terhenti. Sopir bentor itu kemudian kembali berbalik arah, sementara saya masuk ke kampus sambil celingukan cari jamban. Namun sampai di pintu memasuki areal kampus, perut berhenti bergelora. Saya pun urung buang hajat.

Saya kembali cegat bentor. Kali ini tujuan saya ke bundaran di mana para penuntut pembentukan provinsi berada. Saya kembali dapatkan bentor yang bersih dari stiker politik.  Kali ini, saya dapati sopir bentor yang tambun dan bertato di bagian lenganya. Oh, iya, kepalanya botak.

Dengan sedikit rasa 'jiper', saya pun menanyakan apakah dirinya tertarik memasang stiker politik. "Saya tidak tertarik untuk memasang stiker demi uang Rp 50 ribu," kata dia dengan nada yang tegas.

Bahkan dia mengatakan dengan nada sangat yakin untuk menjadi golongan putih atau golput alias tidak memilih pada pemilihan wali kota nanti. "Saya tidak akan memilih. Buat apa, saya rasa tidak ada gunanya," kata dia mengungkapkan pilihan politiknya.

Tidak ada komentar: