Sabtu, 15 September 2012

sertifikat

http://i.istockimg.com/
AKANG merupakan panggilan untuk kakak laki-laki dalam Bahasa Sunda. Kata tersebut juga untuk memanggil orang yang lebih tua namun usianya diperkirakan tak terlalu jauh. Atau panggilan istri kepada suami. Di kampung saya,-nun di di Leles sana-, Akang juga digunakan untuk memanggil seorang 'Ajengan' atau da'i yang suka memberikan ceramah agama.

Panggilan akang kepada ajengan tersebut sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas keilmuanya di bidang agama. Warga kampung tak sembarangan menyematkan akang atau ajengan. Waktu yang membuktikan bahwa sang pendakwah tersebut layak disebut ajengan. Intensitas pelayanan keagamaan kepada masyarakat dan kapasitas keilmuanya harus teruji.

Seseorang yang telah 'masantren' atau belajar di pesantren tak ujug-ujug digelari ustadz, ajengan, apalagi ulama atau kyai. Tak ada gelar setelah seseorang masantren. Butuh proses yang panjang dan masyarakat yang mengujinya langsung. Bila ada yang melabeli dirinya sendiri sebagai ustadz, maka cibiran yang mungkin akan dituainya.

Begitu banyak ustadz-ustadz di televisi, namun bagi orang kampung hanya satu atau dua orang saja yang diakui keilmuanya. "Maca Qur'an-na wae teu baleg. Malahan (gayana) leuwih ciga artis (Baca Qur'an saja tidak benar. Malah gayanya seperti artis)," ujar seorang tetangga saya di kampung.
***

Saya tersentak ketika ada wacana sertifikasi ulama, da'i atau ustadz. Berita-berita tentang sertifikasi ulama lebih menarik hati saya ketimbang berita-berita teror yang selalu muncul ketika ada isu-isu besar lainya. Saya merasa aneh dengan wacana tersebut.

Kekerasan atas nama apa pun tentu tak dibenarkan. Namun respon terhadap kekerasan dengan wacana sertifikasi ulama rasanya keterlaluan. Respon ini seperti meneguhkan Islamophobia. Membuat orang takut bila dihubung-hubungkan dengan Islam.

Jika hal tersebut terlaksana, maka akan ada lembaga sertifikasi bagi ulama. Wah, ini proyekan baru. Bukan hanya masalah duit yang mungkin bisa 'dimainin', tapi kompetensi orang-orang yang dalam lembaga yang akan memberi 'cap bersertifikat' kepada ulama tersebut. Ngurus yang naik haji sudah berpuluh-puluh tahun tidak bener-bener.

Bahaya lainya adalah, ustadz, ulama, da'i atau kyai justru lebih mengejar sertifikat dari pada meningkatkan komptensi keilmuanya. Apa yang terjadi ketika pemerintah menerapkan sertifikasi kepada guru bisa terjadi kepada mereka. Alih-alih mengejar profesionalisme, guru-guru yang sempat saya wawancarai justru lebih mengejar tunjanganya ketika mereka ikut sertifikasi. Itu manusiawi, tentu saja.

Saya harap wacana sertifikasi ulama ini sebagai lelucon untuk mengendorkan urat syaraf yang tegang. Bayangkan, jika ada panggilan 'ustadz bersertifikasi' atau 'ustadz nonsertifikasi', lucu juga, kan?

Ah, sudah pagi ternyata. Biar semangat pagi, setel lagu 'wake up' dulu dari RATM dan berpura-pura beraksi seperti sang vokalis, Zack de la Rocha, saat nge-rap he... he... he....

"...ya they murdered X and tried to blame it on Islam.../ wake up, wake up, wake up... "

*isuk-isuk di kotobangon, 12.09.2012

Tidak ada komentar: