Rabu, 25 Desember 2013

"All men sneeze"

IVAN Dmitritch Tchervyakov akhirnya mati dengan penuh penyesalan setelah muncratan liur dari bersinya mengenai Kepala Bagian Pelayanan Publik di Departemen Transportasi. Tanpa sempat mengganti pakaian seragamnya, pegawai negeri berpangkat rendah ini mati terlentang di atas sofa sesaat setelah tiba di rumahnya.

Demikianlah akhir cerita pendek berjudul 'The Death of a Government Clerk' karya Anton Chekhov. Cerita yang jenaka, namun berujung kematian. Satir!

Kinginan meminta maaf kepada Brizzhalov, sang Kepala Bagian Pelayanan Publik, membuat Tchervyakov tersiksa. Sikap Brizzhalov yang sesungguhnya menganggap sepele masalah itu ditanggapi rasa bersalah yang besar Tchervyakov. Semua orang pernah bersin.

Saya tak pernah menyangka cerita yang lucu ini berakhir dengan matinya sang tokoh utama yang lugu dan naif namun gigih. Cerita ini yang membuat saya selalu penasaran membaca cerita-cerita lain dari Anton Chekhov. Cerita ini juga diadaptasi oleh Sjuman Djaja menjadi sebuah film yang berjudul 'Si Mamad' pada tahun 1973.

Saya belum pernah nonton film itu. Namun dengan penghargaan sebagai film terbaik pada festival film Indonesia (FFI) tahun 1974, saya menduga itu film bagus. Apalagi setelah membaca sinopsis ceritanya. Jalinan ceritanya hampir sama, namun bukan bersin yang menjadi pangkal ceritanya; Korupsi!

Tokoh utamanya tentu bukan Tchervyakov yang menuliskan dan melafalkanya sulit, tapi Mamad. Namun dua-duanya adalah pegawai berpangkat rendah. Berdasarkan sinopsisnya, Mamad adalah orang yang jujur. Namun, akhirnya, dia melanggar sifatnya itu.

Istrinya akan melahirkan anak ketujuh. Mamad kebingungan menghadapinya. Akhirnya, dia pun melakukan korupsi. Bukan ratusan ribu atau jutaan rupiah yang dia korupsi, Mamad menjadi pencuri kecil-kecilan. Dia mencuri kertas kantor untuk dijual kembali. 

Perbuatan ini ternyata malah menyiksa dirinya. Kendati atasanya bisa memahami kelakuan Mamad, namun rasa bersalah terus mengganggunya. Dia gigih menyampaikan maaf kepada atasanya. Atasanya justru memecat Mamad gara-gara terus-terusan menyampaikan permintaan maaf.

Akhir cerita tentu sudah bisa ditebak, kan?

***

Entah mengapa, saya teringat cerita 'The Death of a Government Clerk' setelah ngobrol-ngobrol tentang penerimaan calon pegawai negeri sipil di Warung Kopi Jarod, Kotamobagu, Selasa sore kemarin. Ok, sebenarnya tak ada hubungan apa pun antara sistem perekrutan dengan cerita si Tchervyakov itu.

Saya hanya membayangkan betapa repotnya jadi pamong praja itu. Bukan hanya melayani masyarakat yang memang tugasnya, tapi juga harus 'melayani' atasan. Ya, si Tchervyakov bisa jadi contoh, walaupun dia hanya tokoh rekaan Anton Chekhov. Dia begitu gigih untuk membuat Brizzhalov, yang sebenarnya bukan atasan langsung, senang. 

Ya, kalau menjadi pegawai jujur, bisa jadi berakhir seperti si Mamad. Korupsi sedikit langsung mati. Ah, biar bagaimanapun menjadi pegawai negeri memang tetap seksi.

.:: matahari baru nongol, 25.12.2013 ::.

Minggu, 08 Desember 2013

Tukang Pamer, si Gelap dan Pergantian Tahun

WAKTU kuliah, saya suka pamer. Saya suka baca buku di mana saja. Bahkan, di dalam bis tua yang penuh sesak penumpang, saat pulang kampung, saya biasa pegang buku. Kadang-kadang buku berbahasa Jerman, yang sebenarnya tak pernah saya pahami isinya. Ya, hanya pamer saja.   

Pun demikian dengan buku-buku filsafat kerap saya bawa-bawa di Taman Partere. Walaupun yang saya baca saat itu kebanyakan pengantar atau garis besar pikiran-pikiran para bijak (yang mungkin juga bestari), sebenarya saya bebal juga memahaminya. Namun, saya biasa mengutip kata yang wah itu.

Tapi, dari buku-buku yang pernah saya baca, tak banyak yang melekat kuat. Hanya satu buku yang sampai sekarang judulnya masih saya ingat, Dunia Sophie. Ok, saya tak pernah menganggap jalinan cerita yang dibuat Jostein Gaarder itu sebuah novel. Saya suka menyebutnya buku tentang sejarah filsafat eropa.

Dari rangkaian cerita itu, ada beberapa yang menacap juga, termasuk saat Jostein membicarakan tentang Herakleitos. The Obscure, demikian dia dijuluki karena pemikiranya yang tidak mudah dimengerti, mengatakan, "Kamu tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama."

Yang saya pahami dari penjelasan Alberto Knox kepada Sophie Amundsen, dua tokoh dalam Dunia Sophie, materi selalu berubah. Tak pernah sama. Bahkan, saat kamu menyeberangi sungai yang sama. Air yang mengalir. Tanah yang kamu temui, bukan yang ditemu kemarin. Tak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Pantha rhei kai uden menei.

***

Sore tadi, saya menyantap Tinutuan. Sarapan yang tertunda. Hobi saya untuk pamer tak lekang. Saya jepret dan menjadikan gambarnya sebagai tampilan di telepon selular. Seorang teman langsung mengomentarinya. Bincang-bincang akhirnya sampai mengajak saya untuk ke Manado saat pergantian tahun.

Sambil bercanda, saya menolak dengan mengatakan pada malam itu lebih baik bertafakur dan salat malam. Tentu bukan itu alasan saya sebenarnya. Saya malas untuk merayakan pergantian tahun. Tak ada alasan untuk melakukannya. Bahkan, saya biasa mengumpat dalam hati bila ada yang pasang kembang api.

Memang ada perubahan titimangsa. Tapi, bagi saya, pergantian dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari seperti pergantian hari-hari sebelumnya. Resolusi tak harus di akhir tahun. Kapan pun bisa kau buat sesering kau mengingkarinya. Ah, ngomongin apa sih ini, sebenarnya?

.:: ngelantur sore-sore dengan Lou Reed, The Verve, Pulp, Matchbox, Brian McKnight, dan N'Sync pun ada, di Warkop Jarod. 8.12.2013 ::.

Senin, 11 November 2013

Glory Hunter

UMBERTO Eco, profesor semiotik, meragukan revolusi bisa terjadi di hari Minggu; di saat ada pertandingan sepakbola. "Is it possible to have a revolution on football Sunday?" demikian pertanyaan retoris sang filsuf. 

Keraguan itu mungkin muncul karena suguhan sepakbola yang secara rutin digelar di akhir minggu di Eropa, seperti di Italia, negara asal Eco. Rutinitas telah membentuk penggila sepakbola untuk menunggu hari Minggu tiba. Mungkin lebih khusyuk di stadion sepakbola dibandingkan di gereja. 

Saat ini, bukan orang eropa sana saja yang menunggu hari minggu untuk menyaksikan pertandingan sepakbola. Di Indonesia pun mulai ketularan. "It's supersunday," tulis seorang pendukung fanatik Manchester United di Kotamobagu di status blackberry messenger-nya. 

Ya, MU akan bertanding Arsenal. Lawan Setan Merah ini bukan tim ecek-ecek. Bahkan, kendati sempat diragukan di awal musim, skuat the young guns ini menunjukkan performa yang apik. Di sisi lain, MU juga mulai membaik setelah di awal-awal musim terseok-seok. 

Saya saat ini mendukung Arsenal. Seorang pendukung MU mengejek saya karena mendukung The Gunners. "Kamu hanya pecinta kemenangan. Glory Hunter. Setiap tim yang selalu menang, kamu dukung. Fans itu mendukung saat tim menang atau pun kalah," kata dia. 

Well, bagi saya ungkapan selalu mendukung di saat menang dan kalah hanya bagi Persib Bandung. Untuk klub luar, saya hampir tak peduli. Klub manapun yang bermain apik, akan saya cintai. Begitu pun Arsenal yang walaupun beberapa musim tak pernah juara di liga Inggris tapi selalu menunjukkan permainan yang menghibur. 

Orang bilang; tak butuh alasan untuk mencintai sesuatu. Tapi bagi sepakbola rasanya tidak, kecuali, tentu saja, tetap, Persib Bandung. Saya menyukai Arsenal karena permainannya dan sosok Arsene Wenger. Wenger adalah pencetak pemain-pemain hebat. Hal tersebut pula yang membuat Arsenal bisa untung secara ekonomi. 

Begitu pun saat saya menyatakan pecinta Barcelona. Karena saya punya alasan. Saya menyukai klub dari Katalan ini karena sejarahnya. Dan, saya baru benar-benar menyukainya saat membaca buku Memahami Dunia Lewat Sepakbola karta Franklin Foer sekitar tahun 2004. Ada satu bagian di buku itu yang mengupas Barcelona. 

Ok, ngelantur tentang Barcelona-nya cukup, kembali ke MU lawan Arsenal. Alasan lain mengapa saya mendukung Arsenal adalah karena MU hampir dua dekade terakhir selalu mendominasi Liga Inggris. Sangat membosankan melihat sebuah dominasi itu. Tengok saja Liga Spanyol. Kalau tidak Barcelona, Real Madrid. Membosankan, bukan? 

Well, beberapa menit lagi wasit akan meniup pluit dan 'kick off' MU kontra Arsenal akan terjadi. Selamat menikmati bagi pecinta Liga Inggris. Yang terbaik pastilah pemenangnya. Dan, saya harap itu Arsenal!!! 

.:: Minggu, 10 November 2013, jelang MU vs Arsenal ::.

Sabtu, 06 Juli 2013

"So bilang kwa...."

ENTAH tebakan atau berdasarkan analisis ala pengamat politik (yang biasanya sok jago), namun yang pasti, keraguan seorang pengemudi becak motor (bentor) saat berbicang dengan saya pada 13 Februari lalu itu terbukti. "Saya tak yakin wali kota sekarang dapat terpilih kembali," kata pria ompong ini.

Saat itu masa kampanye belum tiba. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kotamobagu baru menetapkan tahapan pemilihan umum wali kota dan wakil wali kota (Pilwako) kota berpenduduk sekitar 127 ribu itu 1.5 bulan sebelumnya. Namun, kota kecil itu sudah sangat riuh. Para bakal calon sudah menebar stiker atau memasang baliho.


Empat bulan kemudian, 24 Juni 2013, sang Petahana pada Pilwako itu tumbang. Raihan suaranya terpaut 9.909 dengan pesaing utamanya, yang tak lain wakilnya selama jadi wali kota periode 2008-2013. Jika dipersentasekan, jarak antara Petahana dan Pemenang hampir mencapai 12 persen dari total 71.350 suara sah.  


Suasana kekalahan tersebut sangat terasa di kediaman sang Petahan hanya sekitar dua jam setelah panitia di tempat pemungutan mulai menghitung. Wajah kepala dinas dan pejabat pemerintah daerah tampak tak berseri. Mereka yang biasanya ngobrol dengan muka penuh senyum, terlihat banyak diam. Bahkan di antaranya duduk lunglai.

Sementara di dalam ruangan utama rumah itu, tampak beberapa pengurus partai politik yang mengusung Calon Wali Kota. Di antara kerumunan para pengurus partai tersebut, tampak pula seorang ustaz. Ustaz yang biasanya tampak bersemangat saat berceramah, terlihat tertunduk lesu. Buliran air mata juga sempat terlihat.


Ruangan itu tampak ramai, tapi terkesan suram. Sang Petahana akhirnya menunjukkan diri. Dia berjalan cepat dari lantai dua menuju sebuah ruangan yang berada di lantai bawah. Tanpa memperdulikan orang-orang yang berkerumun di ruang itu. Lelaki yang berkumis ini hanya mengajak beberapa pejabat masuk bilik.


Suasana sangat kontras berbeda di kediaman sang Pemenang. Ribuan orang berdesak-desakan mendekati rumah perempuan ini. Bahkan, beberapa pria dan wanita menari di jalan. Mereka berteriak kegirangan. Jalanan di seputaran kediaman yang menjadi rumah dinas wali kota itu macet. 


Semua orang berebut untuk mengucapkan selamat. Pelukan dan ciuman pipi pun dia terima. Air mata perempuan berkacamata ini berurai. Di tengah keriangan, sang Gubernur datang bersama rombongan. Tak lama setelah terlibat perbincangan, Gubernur itu pun akhirnya meninggalkan ruamh dinas itu.


Sehari setelah pemungutan suara, saya berbincang dengan sang Petahana di rumah dinasnya. Suara pria ini parau. Dia tampak berusaha tenang dan menekan emosinya saat berbicara tentang hasil pemungutan suara.  "Saya kira sebuah realitas kalau hasil perhitunah begitu. Bukan soal terima atau tidak," kata pria berkumis ini.  


Beberapa hari kemudian tak ada tanda-tanda perlawanan dari sang Petahana. Padahal, pria ini terkenal gigih dan tak jarang menggunakan segala dayanya untuk melawan, termasuk saat kekalahannya pada beberapa tahun sebelumnya saat mencalonkan diri menjadi bupati di Bolmong. 


"Saya sudah pernah merasakan kalah. Dua kali," kata dia.


Riak itu memang ada, tapi kecil. 28 Juni 2013, aliran listrik di Kotamonagu terputus. Pleno penetapan hasil pemilihan pun tertunda. Saat bersamaan, sejumlah orang mulai berkumpul di kediaman sang Petahana. Seratusan orang yang didominasi perempuan berencana berunjukrasa di Kantor KPU daerah itu. Namun, akhirnya urung. 


KPU Kotamobagu pun akhirnya menetapkan wali kota dan wakil wali kota terpilih. Pertarungan memang belum berakhir. Dua kontestan memohon gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, sekali lagi, perkataan sopir bentor itu terbukti. Entah itu tebakan atau berdasarkan analisis. "Di awal-awal saja sudah mengecewakan.  Dia berniat menghapus bentor," kata sopir bentor itu.


.:: warkop jarod sinindian, 6 Juli 2013 ::.


Rabu, 13 Februari 2013

Ma Idah

Ma Idah
PEREMPUAN renta itu bernama Ma Idah. Dia mengaku sudah berumur 90 tahun, namun jika ditilik dari fisik perempuan itu terlihat seperti masih berusia 60 atau 70-an tahun. Namun yang pasti giginya sudah hampir ompong semua dan kerutan di wajah sudah tampak jelas.

Saya berjumpa dengan Ma Idah di Puncak Gunung Jaya Giri, Lembang, Jawa Barat, saat berkesempatan mengikuti off road dari kantor. Saat itu, panitia memberikan kesempatan para peserta untuk beristirahan dan melaksanakan salat Jumat di puncak Jaya Giri.

Ma Idah hidup sendirian di puncak itu setelah suaminya meninggal beberapa tahun silam. Hanya ada satu rumah di daerah tersebut. Tetangga dia terdekat hanyalah peternakan kuda. Sementara rumah-rumah lainya, jaraknya berkilo-kilometer. Bahkan aliran listrik pun tak ada. Namun demikian, dia tak memperdulikan keadaan tersebut.

"Ya, kalau ada keperluan apa-apa, tinggal jalan kaki terus nanti naik ojek," kata Ma Idah sambil duduk bersila di pintu rumah panggungnya yang dinding berbilik bambu.

Dia mengaku tidak takut hidup sendirian di daerah itu. Hanya radio tua yang menemaninya. Bahkan, saat Gunung Tangkuban Parahu yang jaraknya dekat bergejolak beberapa waktu lalu, dia 'keukeuh' tak beranjak. "Semua datang ke sini; camat, danramil, minta pindah. Tapi, saya tak mau pergi," kata Ma Idah.

Warung kecil menjadi tumpuan untuk menopang hidupnya. Hanya tampak botol-botol air mineral saja yang dijualnya. Namun dia seakan tak peduli dengan keadaan tersebut. Dia mengenang beberapa tahun lalu, puncak Jaya Giri itu begitu terkenal. Banyak yang menggunakan tempat itu untuk berkemah. Alhasil, warungnya pun yang memang hanya satu-satunya di daerah tersebut sangat ramai.

Namun, hal tersebut kini berubah. Semakin jarang yang datang berkunjung atau berkemah di tempat yang bisa melihat saujana Lembang tersebut. Lalu, apa yang membuatnya bertahan? "Jaga cai (menjaga air)," kata dia singkat. Entah apa yang dimaksud dengan menjaga air tersebut.

Menurut Kang Ojos, dari Wanadri, Puncak Jaya Giri, menjadi tempat favorit dikunjungi pada sekitar dekade 80 dan 90an. Dia juga tidak tahu mengapa sekarang tempat tersebut berkurang daya tariknya. Kang Ojos mengatakan keasrian Puncak Jaya Giri semakin berkurang.

"Banyak tempat-tempat yang dibabat hanya untuk jalan. Memakai sepeda motor pun bisa sampai sini," kata dia.