SUATU hari sakadang Monyet mengajak sakadang Kuya mencuri cabai milik pak Tani.
Kuya awalnya menolak. Bukan alasan moral ia tak mau mencuri. Toh, menikmati pedas cabai pak Tani adalah surga juga.
Sakadang Monyet suka berisik saat mencuri. Itu dia alasannya!
Setelah mati-matian berjanji tak akan akan gaduh, sakadang Monyet berhasil mengajak si Kuya menjadi partner in crime. Kejahatan cetek, tapi sungguh-sungguh.
Saat matahari condong ke barat, mereka sudah berada di kebun pak Tani.
Benar saja perkiraan sakadang Kuya, sakadang Monyet yang kepedasan makan cabai tak bisa lagi mengontrol diri. Sang Monyet malah mengeluh,- mungkin melenguh.
Sambil mengunyah, mulutnya berkata berulang-ulang: "Seuhah, lata-lata!"
Sang Kuya beberapa kali mengingatkan agar Monyet tak gaduh. Dia takut pak Tani menjadi awas dengan suara sakadang Monyet. Namun apa daya, temannya tak bisa lagi menahan rasa pedas yang menyengat lidah.
Kekhawatiran sakadang Kuya jadi kenyataan. Pak Tani datang. Sakadang Monyet langsung lari meninggalkan sakadang Kuya yang tak bisa kabur. Si Kuya mah jalanya saja ngadedod. Mana bisa kabur kalau lambat mah.
"Beunang siah...!" Pak Tani berseru sambil memegang sakadang Kuya.
Di sisa tenaganya, sakadang Kuya berusaha lepas. Namun, upaya dia sia-sia.
Pak Tani membawa sakadang Kuya ke rumahnya. Dia kemudian mengurung sakadang Kuya dalam kurungan ayam. Harapan sakadang Kuya untuk kabur kian pupus.
"Besok, kita sembelih kura-kura itu," ujar pak Tani kepada anaknya.
***
DI luar sudah gelap. Sakadang Kuya hanya bisa tafakur dalam kurungan ayam pak Tani. tak ada lagi harapan.
Di puncak keputusasaan, dia mendapatkan kepasrahan. Bila maut sudah tiba, siapalah yang berkuasa selain pemilik kehidupan.
Saat kesadaran mulai memasuki mimpi, sakadang Kuya mendengar suara desisan. Bukan dari sakadang ular yang tak pernah karib dengannya. Desisan itu sangat akrab di telinga dia.
Ketika matanya betul-betul terbuka, ia bersitatap dengan dua bola yang cemerlang. Itu adalah mata sahabatnya, sakadang Monyet yang meninggalkan ia dari sergapan pak Tani.
Amarah kembali berkobar dalam hati sakadang Kuya. Namun air mukanya tetap menunjukkan ketenangan. Seperti air sungai yang mengalir tenang.
"Ssst..., sakadang Kuya, bagaimana kabarmu?" Sakadang Monyet bertanya. Nada suaranya bergetar, entah karena kedinginan atau ketakutan.
"Alhamdulillah, baik. menyenangkan malah," sakadang Kuya menjawab penuh keriangan.
Sakadang Monyet kaget. Bagaimana mungkin berada dalam kurungan, temannya masih bisa sesenang seperti saat melihat ranumnya cabai di kebun pak Tani tadi siang.
Rasa penasaran sakadang Monyet terbalaskan saat si teman yang 'lambat' mengisahkan kegembiraanya. Ada berkah tersembunyi dari penangkapannya, kata sakadang Kuya.
"Sudah lama pak Tani mencari calon mantu. Besok aku akan dikawinkan dengan anak perempuan pak Tani. Siapa yang tak senang."
Sakadang Monyet menukas, "Amboi, beruntungnya temanku! Seandainya aku berada di posisimu."
"Aku tak sesenang yang kau kira. Aku pikir ada yang lebih pantas mendapatkan si gadis."
"Siapa dia, temanku?" sakadang Monyet langsung bertanya penuh penasaran.
Beberapa saat sepi, hanya tarikan napas sakadang kuya yang terdengar lapat-lapat. Kepala sakadang Monyet kian mendekat ke kurungan. Tanganya kemudian memegang kurungan, sementara pupil matanya kian membesar.
"Aku rasa yang lebih pantas bersanding dengan anak pak Tani adalah kamu. Tapi, apakah kamu mau?"
"Bodoh, tentu saja aku mau. Tapi kamu benar-benar rela melepaskan kesempatan ini? Bukankah kesempatan itu mahal, dan kamu mau melepaskan kemewahan itu?" kata sakadang Monyet.
"Dari sisi apa pun kamu yang lebih pantas. tak hanya rupamu, kemampuanmu akan mampu memesona bahkan bagi calon mertuamu yang galak itu," si kuya menukas.
"Ok, kalau begitu. Sebaiknya kita tukaran. Aku akan masuk dalam kurungan itu," ujar sakadang Monyet.
"Namun, ada syarat. Sebelum kamu masuk kurungan ini, lemparkan aku ke sungai," kata Kuya.
Dua sahabat itu mencapai kesepakatan. Setelah melempar Kuya ke sungai, sakadang Monyet dengan hati berbunga-bunga masuk kurungan. Tak lama, tengkuran terdengar kemudian.
Sinar matahari membangunkan sakadang monyet. Matanya terbuka perlahan, sementara mulutnya bersiul. Telinganya mendengar suara keramaian dari rumah pak Tani.
"Dimana golok, bapak? Apa kamu sudah asah baik-baik, biar penyembelihan kuya itu cepat." Suara pak tani terdengar jelas sampai tempat kurungan.
"Waduh...!" Hati monyet mengaduh.
***
IA yang biasa telanjang kini mengenakan beledu. Manik-manik keemasan tersemat menambah anggun pakaian sakadang monyet hari itu. Peci yang kebesaran dan sepatu runcing yang tak pas di kaki tak ia pedulikan.
Bahagia berada di pelaminan bersama anak pak Tani lebih penting bagi dia. Nyengir. Bukan, bukan nyengir sebenarnya. Itu adalah senyuman yang selalu disalahartikan. Tapi, sakadang Monyet tak ada waktu untuk memperdulikan sangkaan.
Namun, kebahagiaan itu hilang saat matahari membangunkannya. Baru saja kelopak matanya terbuka, sakadang Monyet sudah mendengar pak tani akan menyembelih ia yang berada di kurungan.
Sekali lagi, ia diperdaya temannya, sakadang Kuya.
Tak ada waktu untuk menggerutu, tapi ia tak tahu apa yang harus lakukan. Ia berputar-putar di dalam kurungan ayam itu. Suara langkah kaki di atas pelupuh rumah pak Tani jelas terdengar. Gemeretaknya kian terasa dekat.
Akhirnya ia telentang. matanya mengatup. Ia tarik napas dalam-dalam. "Ya, aku harus pura-pura mati."
Napas yang ia hirup tak pernah lagi ia embuskan.
Pak Tani yang membuka kurung kaget bukan main. "Sore kemarin rasanya aku menangkap kura-kura. Kenapa dalam semalam sudah berubah jadi monyet. Monyet mati lagi," pak Tani menggerutu dalam hatinya.
Pak Tani kesal bukan main, sementara sakadang Monyet setengah mati menahan napas. Dag, dig, dug. Waktu seakan berjalan lambat. Tangan pak Tani tiba-tiba meraih kaki sakadang Monyet. Kemudian mengangkatnya.
Pusing sekali saat pak tani memutar-mutar tubuhnya di udara. Setelah beberpa putaran, ia merasa melayang.
Buk, ia terempas. Sakit, tapi sakit itu yang membuat sakadang Monyet bisa bernapas bebas lagi. Ia langsung berdiri dan lari pontang panting.
Lapat-lapat ia mendengar umpatan pak Tani. "Kurang ajar!"
Catatan: Cerita sakadang Kuya dan sakadang Monyet, beberapa kali saya dengar waktu kecil. Kalau tidak salah, cerita ini ada dalam buku pejaran Basa Sunda. Namun di sini, saya sedikit ropea. Hormat bagi pengarang cerita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar