IVAN Dmitritch Tchervyakov akhirnya mati dengan penuh penyesalan
setelah muncratan liur dari bersinya mengenai Kepala Bagian Pelayanan
Publik di Departemen Transportasi. Tanpa sempat mengganti pakaian
seragamnya, pegawai negeri berpangkat rendah ini mati terlentang di
atas sofa sesaat setelah tiba di rumahnya.
Demikianlah akhir cerita pendek berjudul 'The Death of a Government Clerk' karya Anton Chekhov. Cerita yang jenaka, namun berujung kematian. Satir!
Kinginan
meminta maaf kepada Brizzhalov, sang Kepala Bagian Pelayanan Publik,
membuat Tchervyakov tersiksa. Sikap Brizzhalov yang sesungguhnya
menganggap sepele masalah itu ditanggapi rasa bersalah yang besar
Tchervyakov. Semua orang pernah bersin.
Saya
tak pernah menyangka cerita yang lucu ini berakhir dengan matinya sang
tokoh utama yang lugu dan naif namun gigih. Cerita ini yang membuat
saya selalu penasaran membaca cerita-cerita lain dari Anton Chekhov.
Cerita ini juga diadaptasi oleh Sjuman Djaja menjadi sebuah film yang
berjudul 'Si Mamad' pada tahun 1973.
Saya belum pernah
nonton film itu. Namun dengan penghargaan sebagai film terbaik pada
festival film Indonesia (FFI) tahun 1974, saya menduga itu film bagus.
Apalagi setelah membaca sinopsis ceritanya. Jalinan ceritanya hampir
sama, namun bukan bersin yang menjadi pangkal ceritanya; Korupsi!
Tokoh
utamanya tentu bukan Tchervyakov yang menuliskan dan melafalkanya
sulit, tapi Mamad. Namun dua-duanya adalah pegawai berpangkat rendah.
Berdasarkan sinopsisnya, Mamad adalah orang yang jujur. Namun,
akhirnya, dia melanggar sifatnya itu.
Istrinya akan
melahirkan anak ketujuh. Mamad kebingungan menghadapinya. Akhirnya, dia
pun melakukan korupsi. Bukan ratusan ribu atau jutaan rupiah yang dia
korupsi, Mamad menjadi pencuri kecil-kecilan. Dia mencuri kertas kantor
untuk dijual kembali.
Perbuatan ini ternyata malah
menyiksa dirinya. Kendati atasanya bisa memahami kelakuan Mamad, namun
rasa bersalah terus mengganggunya. Dia gigih menyampaikan maaf kepada
atasanya. Atasanya justru memecat Mamad gara-gara terus-terusan
menyampaikan permintaan maaf.
Akhir cerita tentu sudah bisa ditebak, kan?
***
Entah
mengapa, saya teringat cerita 'The Death of a Government Clerk'
setelah ngobrol-ngobrol tentang penerimaan calon pegawai negeri sipil
di Warung Kopi Jarod, Kotamobagu, Selasa sore kemarin. Ok, sebenarnya tak ada hubungan apa pun antara sistem perekrutan dengan cerita si Tchervyakov itu.
Saya
hanya membayangkan betapa repotnya jadi pamong praja itu. Bukan hanya
melayani masyarakat yang memang tugasnya, tapi juga harus 'melayani'
atasan. Ya, si Tchervyakov bisa jadi contoh, walaupun dia hanya tokoh
rekaan Anton Chekhov. Dia begitu gigih untuk membuat Brizzhalov, yang
sebenarnya bukan atasan langsung, senang.
Ya,
kalau menjadi pegawai jujur, bisa jadi berakhir seperti si Mamad.
Korupsi sedikit langsung mati. Ah, biar bagaimanapun menjadi pegawai
negeri memang tetap seksi.
.:: matahari baru nongol, 25.12.2013 ::.
Rabu, 25 Desember 2013
Minggu, 08 Desember 2013
Tukang Pamer, si Gelap dan Pergantian Tahun
WAKTU kuliah, saya suka pamer.
Saya suka baca buku di mana saja. Bahkan, di dalam bis tua yang penuh
sesak penumpang, saat pulang kampung, saya biasa pegang buku.
Kadang-kadang buku berbahasa Jerman, yang sebenarnya tak pernah saya
pahami isinya. Ya, hanya pamer saja.
Pun demikian dengan buku-buku filsafat kerap saya bawa-bawa di Taman Partere. Walaupun yang saya baca saat itu kebanyakan pengantar atau garis besar pikiran-pikiran para bijak (yang mungkin juga bestari), sebenarya saya bebal juga memahaminya. Namun, saya biasa mengutip kata yang wah itu.
Tapi, dari buku-buku yang pernah saya baca, tak banyak yang melekat kuat. Hanya satu buku yang sampai sekarang judulnya masih saya ingat, Dunia Sophie. Ok, saya tak pernah menganggap jalinan cerita yang dibuat Jostein Gaarder itu sebuah novel. Saya suka menyebutnya buku tentang sejarah filsafat eropa.
Dari rangkaian cerita itu, ada beberapa yang menacap juga, termasuk saat Jostein membicarakan tentang Herakleitos. The Obscure, demikian dia dijuluki karena pemikiranya yang tidak mudah dimengerti, mengatakan, "Kamu tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama."
Yang saya pahami dari penjelasan Alberto Knox kepada Sophie Amundsen, dua tokoh dalam Dunia Sophie, materi selalu berubah. Tak pernah sama. Bahkan, saat kamu menyeberangi sungai yang sama. Air yang mengalir. Tanah yang kamu temui, bukan yang ditemu kemarin. Tak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Pantha rhei kai uden menei.
***
Sore tadi, saya menyantap Tinutuan. Sarapan yang tertunda. Hobi saya untuk pamer tak lekang. Saya jepret dan menjadikan gambarnya sebagai tampilan di telepon selular. Seorang teman langsung mengomentarinya. Bincang-bincang akhirnya sampai mengajak saya untuk ke Manado saat pergantian tahun.
Sambil bercanda, saya menolak dengan mengatakan pada malam itu lebih baik bertafakur dan salat malam. Tentu bukan itu alasan saya sebenarnya. Saya malas untuk merayakan pergantian tahun. Tak ada alasan untuk melakukannya. Bahkan, saya biasa mengumpat dalam hati bila ada yang pasang kembang api.
Memang ada perubahan titimangsa. Tapi, bagi saya, pergantian dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari seperti pergantian hari-hari sebelumnya. Resolusi tak harus di akhir tahun. Kapan pun bisa kau buat sesering kau mengingkarinya. Ah, ngomongin apa sih ini, sebenarnya?
.:: ngelantur sore-sore dengan Lou Reed, The Verve, Pulp, Matchbox, Brian McKnight, dan N'Sync pun ada, di Warkop Jarod. 8.12.2013 ::.
Pun demikian dengan buku-buku filsafat kerap saya bawa-bawa di Taman Partere. Walaupun yang saya baca saat itu kebanyakan pengantar atau garis besar pikiran-pikiran para bijak (yang mungkin juga bestari), sebenarya saya bebal juga memahaminya. Namun, saya biasa mengutip kata yang wah itu.
Tapi, dari buku-buku yang pernah saya baca, tak banyak yang melekat kuat. Hanya satu buku yang sampai sekarang judulnya masih saya ingat, Dunia Sophie. Ok, saya tak pernah menganggap jalinan cerita yang dibuat Jostein Gaarder itu sebuah novel. Saya suka menyebutnya buku tentang sejarah filsafat eropa.
Dari rangkaian cerita itu, ada beberapa yang menacap juga, termasuk saat Jostein membicarakan tentang Herakleitos. The Obscure, demikian dia dijuluki karena pemikiranya yang tidak mudah dimengerti, mengatakan, "Kamu tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama."
Yang saya pahami dari penjelasan Alberto Knox kepada Sophie Amundsen, dua tokoh dalam Dunia Sophie, materi selalu berubah. Tak pernah sama. Bahkan, saat kamu menyeberangi sungai yang sama. Air yang mengalir. Tanah yang kamu temui, bukan yang ditemu kemarin. Tak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Pantha rhei kai uden menei.
***
Sore tadi, saya menyantap Tinutuan. Sarapan yang tertunda. Hobi saya untuk pamer tak lekang. Saya jepret dan menjadikan gambarnya sebagai tampilan di telepon selular. Seorang teman langsung mengomentarinya. Bincang-bincang akhirnya sampai mengajak saya untuk ke Manado saat pergantian tahun.
Sambil bercanda, saya menolak dengan mengatakan pada malam itu lebih baik bertafakur dan salat malam. Tentu bukan itu alasan saya sebenarnya. Saya malas untuk merayakan pergantian tahun. Tak ada alasan untuk melakukannya. Bahkan, saya biasa mengumpat dalam hati bila ada yang pasang kembang api.
Memang ada perubahan titimangsa. Tapi, bagi saya, pergantian dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari seperti pergantian hari-hari sebelumnya. Resolusi tak harus di akhir tahun. Kapan pun bisa kau buat sesering kau mengingkarinya. Ah, ngomongin apa sih ini, sebenarnya?
.:: ngelantur sore-sore dengan Lou Reed, The Verve, Pulp, Matchbox, Brian McKnight, dan N'Sync pun ada, di Warkop Jarod. 8.12.2013 ::.
Langganan:
Postingan (Atom)